Ini kisah tentang seorang gadis yg hingga usia seperempat abad masih
berjuang istiqomah untuk menghilngkan kata “pacaran” dalam kamus
hidupnya.
Diusia
yang muda belia, gadis yang dibesarkan ditengah keluarga yang jauh
dari nilai-nilai islam, pertama kali ditanyakan perihal pacar oleh orangtuanya.
Gadis itu dengan malu-malu menjawab “belum
ada ma”. Masa remajanya tergolong sangat biasa, jauh dari warna warni khas
remaja pancaroba. Gadis rumahan menghabiskan harinya dengan membaca. Dari buku dan majalah islami inilah, wawasan tentang
keislamannya bertambah. Ia jadi tahu bahwa islam tak mengenal pacaran dan
berhijab adalah wajib bagi muslimah yang sudah baligh. Padahal sebelumnya si
gadis berpikir, pacaran adalah fase wajib yang harus dilewati ketika seseorang
mulai beranjak dewasa.
Gadis
ini bertumbuh dalam keluarga yang sangat demokratis, tak ada larangan pacaran
yang biasanya diwanti-wanti oleh para orangtua kepada anak remajanya. Kedua kakak
leleakinya bahkan sudah mulai berpacaran sejak SMP kelas 1. Diakuinya
perdebatan tentang "hukum" berpacaran seringkali datang, segelintir teman-temannya
yang pro tak henti melancarkan provokasi tentang asiknya pacaran dan alangkah
ruginya ia yang tak pernah mengecap “madu” pacaran. Sindiran "sok suci" dan "ga gaul" serta tatapan seolah tak percaya dan menyangsikan perihal statusnya yg tak pernah pacaran, tak juga membuatnya bergeming. Pemandangan
bunga yang bermekaran khas musim semi, kerap ia jumpai saat melihat teman-temannya
menggandeng mesra pujaannya masing-masing. Namun pemandangan itu bergantin musim
gugur, tatkala sang teman berkata “putus” dengan sang pacar. Akh pacaran
menjadi hubungan yang rumit dimata si gadis. Haruskah jatuh bangun untuk
mengecap “madu” itu?.
“Aku
gadis yang mudah jatuh cinta” ucap gadis itu. Bohong kalau kukatakan aku tak
pernah tertarik menjalin hubungan (pacaran) dengan lawan jenis. Ia lalu
bercerita tentang cintanya yang tak pernah berbalas. Aku menatapnya lekat, tak ada yang salah dengan paras dan laku gadis ini, namun mengapa
cintanya tak pernah berbalas?. Penasaran aku bertanya lagi, mengapa?? “Aku mencintai diam-diam” jawabnya. "Aku
mengunci -rasaku- dalam bait-bait puisi disini (sambil menujuk buku hariannya) lalu
mengadukannya pada Dia yang Maha mencinta, setelah itu hanya tunggu waktu
sampai -rasaku- menguap, tanpa pernah tersampaikan." Sedemikian apik
ia mengulum “rasa cintanya", aku sendiri tak tahu apa bisa se-anggun itu
mendefinisikan cinta.
Epilog
Secret Admirer |
Kini
gadis itu tak lagi gamang ketika pertanyaan tentang pacar menyapa, ia sudah
mengenggam satu keyakinan; Pertalian hati akan terjalin sakral ketika dilandasi
dengan niatan yang mulia Lillahi ta’ala. Pemahamannya ini tak serta merta datang, namun lahir dari sebuah proses yang masih terus berjalan. Saat ditanya tentang pacar, jawaban gadis ini masih sama seperti yang
dilontarkannya 11 tahun yang lalu, tak ada yang berubah. Bedanya ia tak lagi menjawabnya
malu-malu, namun penuh keyakinan. Ia yakin bahwa Allah telah menyiapkan
seseorang untuk menjadi imamnya. Meski ia tak pernah tahu kapan perjumpaan mereka dimulai.
No comments:
Post a Comment