Sunday, September 29, 2013

“Aku mencintai diam-diam”


Ini kisah tentang seorang gadis yg hingga usia seperempat abad masih berjuang istiqomah untuk menghilngkan kata “pacaran” dalam kamus hidupnya.
Diusia yang muda belia, gadis yang dibesarkan ditengah keluarga yang jauh dari nilai-nilai islam, pertama kali ditanyakan perihal pacar oleh orangtuanya. Gadis itu dengan  malu-malu menjawab “belum ada ma”. Masa remajanya tergolong sangat biasa, jauh dari warna warni khas remaja pancaroba. Gadis rumahan menghabiskan harinya dengan membaca. Dari buku dan majalah islami inilah, wawasan tentang keislamannya bertambah. Ia jadi tahu bahwa islam tak mengenal pacaran dan berhijab adalah wajib bagi muslimah yang sudah baligh. Padahal sebelumnya si gadis berpikir, pacaran adalah fase wajib yang harus dilewati ketika seseorang mulai beranjak dewasa.
Gadis ini bertumbuh dalam keluarga yang sangat demokratis, tak ada larangan pacaran yang biasanya diwanti-wanti oleh para orangtua kepada anak remajanya. Kedua kakak leleakinya bahkan sudah mulai berpacaran sejak SMP kelas 1. Diakuinya perdebatan tentang "hukum" berpacaran seringkali datang, segelintir teman-temannya yang pro tak henti melancarkan provokasi tentang asiknya pacaran dan alangkah ruginya ia yang tak pernah mengecap “madu” pacaran. Sindiran "sok suci" dan "ga gaul" serta tatapan seolah tak percaya dan menyangsikan perihal statusnya yg tak pernah pacaran, tak juga membuatnya bergeming. Pemandangan bunga yang bermekaran khas musim semi, kerap ia jumpai saat melihat teman-temannya menggandeng mesra pujaannya masing-masing. Namun pemandangan itu bergantin musim gugur, tatkala sang teman berkata “putus” dengan sang pacar. Akh pacaran menjadi hubungan yang rumit dimata si gadis. Haruskah jatuh bangun untuk mengecap “madu” itu?. 

“Aku gadis yang mudah jatuh cinta” ucap gadis itu. Bohong kalau kukatakan aku tak pernah tertarik menjalin hubungan (pacaran) dengan lawan jenis. Ia lalu bercerita tentang cintanya yang tak pernah berbalas. Aku menatapnya lekat, tak ada yang salah dengan paras dan laku gadis ini, namun mengapa cintanya tak pernah berbalas?. Penasaran aku bertanya lagi, mengapa?? “Aku mencintai diam-diam” jawabnya. "Aku mengunci -rasaku- dalam bait-bait puisi disini (sambil menujuk buku hariannya) lalu mengadukannya pada Dia yang Maha mencinta, setelah itu hanya tunggu waktu sampai -rasaku- menguap, tanpa pernah tersampaikan." Sedemikian apik ia mengulum “rasa cintanya", aku sendiri tak tahu apa bisa se-anggun itu mendefinisikan cinta. 

Epilog 
Secret Admirer
Kini gadis itu tak lagi gamang ketika pertanyaan tentang pacar menyapa, ia sudah mengenggam satu keyakinan; Pertalian hati akan terjalin sakral ketika dilandasi dengan niatan yang mulia Lillahi ta’ala. Pemahamannya ini tak serta merta datang, namun lahir dari sebuah proses yang masih terus berjalan. Saat ditanya tentang pacar, jawaban gadis ini masih sama seperti yang dilontarkannya 11 tahun yang lalu, tak ada yang berubah. Bedanya ia tak lagi menjawabnya malu-malu, namun penuh keyakinan. Ia yakin bahwa Allah telah menyiapkan seseorang untuk menjadi imamnya. Meski ia tak pernah tahu kapan perjumpaan mereka dimulai.

No comments:

Post a Comment