Wednesday, December 11, 2013

Dilatasi Memori

Alhamdulillah wa syukurillah... Finally setelah hampir enam tahun mengenyam bangku sekolah kedokteran, gelar itu kini tersemat didepan namaku. Sulit melukiskan seberapa bahagianya hari ini. Setiap pencapaian seyogyanya diwarnai oleh manis getirnya sebuah perjuangan, begitupun aku dan ini kisahku.

Seorang gadis kecil terlihat sibuk merobek kertas menjadi bagian-bagian kecil. Sang gadis lalu mencorat coret kertas tadi dengan beragam tulisan; Amoksisilin 3x1, Decolgen 2x1, dan entah obat apalagi yang dituliskan jemari kecil itu. Setelah diamati dengan seksama, sang gadis kecil ternyata tengah berperan sebagai dokter, dengan penuh semangat ia lalu berbicara pada pasien fiktifnya “Ini ya pak obatnya, tolong diminum ya sampe habis.” Semesta berbisik “butuh waktu lima belas tahun, untuk mewujudkan mimpimu sayang.”

Kalau mendengar cerita orangtuaku, selalu ada haru yang terselip “siapa yang sangka kamu bisa jadi dokter nak?.” Aku waktu kecil dilahirkan dengan berat lahir dibawah rata-rata normal (BBLR) dan menderita asfiksia (kondisi dimana bayi kekurangan oksigen), sewaktu kecil aku hampir tak pernah mendapat imunisasi karena selalu sakit saat waktu imunisasi tiba. Namun Alhamdulillah aku mendapat asupan ASI nyaris selama 2 tahun (mungkin inilah alasan dibalik sistem imunku yang cukup kuat ini.. itulah hebatnya ASI). Aku dibesarkan dalam keluarga yang tergolong biasa-biasa saja, papaku PNS yang memulai karir dari golongan 2 dan mama hanya ibu rumah tangga biasa, yang kemudian perlahan mulai "berkarir" demi membantu keuangan keluarga. Masa kecilku aku habiskan disebuah rumah sederhana di kompleks Perum BTN. Namun cita-cita menjadi dokter sudah aku tulis sejak pertama kali menulis kolom biodata di buku harian teman-teman SDku. Kala itu mungkin memang hampir sebagian besar anak kecil sangat kompak menuliskan “dokter” sebagai pilihan karir masa depannya.

Perekonomian keluargaku berputar seperti roda.. pernah aku merasakan hidup serba ada, lalu berganti lagi menjadi serba pas-pasan. Biaya kuliah kedokteran yang entah kenapa semakin melangit, sungguh tak bersahabat dengan kondisi keuangan keluargaku. Soal mengapa aku bisa terdampar kuliah kedokteran swasta yang masuk rangking 10 besar berbiaya kuliah termahal ini? Sebutlah ini suratan takdir sang sutradara kehidupan. Kuliah dikampus swasta jelaslah bukan cita-cita siapapun, termasuk aku (kecuali yang udah tajir dari orok mungkin?:). Namun ketika pintu FK negeri seolah-olah tertutup, maka tak ada pilihan lain, selain mencoba peruntungan nasib di kampus berlabel swasta.

Dalam mengarungi masa perkuliahanku, ada momen yang tak bisa aku lupakan, yaitu saat aku hampir tak bisa mengikuti perkuliahan disemester berikutnya (semester 6-7 kalo tidak salah), ini lantaran aku belum menyelesaikan pembayaran biaya SPP. Kalo dipikir-pikir sekarang momen itu memang sedikit dramatis, aku bahkan sampai harus mengemis pada petinggi kampus agar tak sampai mendiskualifikasikanku. Namaku juga sampai tak masuk di absen reguler saat itu. Tapi Allah Maha Baik, seorang kerabat mengulurkan tangan untuk membantu menyelesaikan masalah itu.

Lain lagi soal masa per'koas'an, masa inilah yang paling cetar menurutku. Perihal ekonomi tak lagi menjadi bintang saat itu, meski juga masih terselip ditengah-tengah perjuangan menyelesaikan stase demi stase yang menguji mental juangku. Namun masalah intern keluargalah yang paling  menyita konsentrasiku waktu itu. Tahun 2012 sampai 2013 benar-benar penuh warna kawan! Jika boleh meminta aku tak ingin diuji dengan hal yg demikian lagi.

Aku bisa lulus S.Ked tepat waktu, namun dunia koas kujalani setengah terseok. Stase perdanaku tak perjalan mulus, sehingga aku pun memutuskan rehat sebulan, kalah start dari sejawat yang lain. Dipertengahan jalan aku kembali harus menerima kado libur yang termat panjang, lebih dari 10 minggu kawan! Dan libur itu aku putuskan untuk kuhabiskan dirumah tercinta (setelah nyaris 2 th tak pulang). Selepas hibrinasi aku lalu melanjutkan perjalanan stase yang menyisakan 5 bagian lagi, sebelum akhirnya harus menghadapi minggu-minggu paling berat dalam fase ini. Disaat aku merasa perjuanganku sudah hampir mencapai klimaks (koas beres), tak disangka ujian lain hadir. Ujian obgyn dengan penguji yang paling “angker” ditambah orentasi ujian Bedah dengan konsulen yang  tak kalah sangar, masih ditambah lagi dengan menyelesaikan deadline skripsi dengan pembimbing yang kapabilitasnya terkenal sangat mumpuni dibidangnya. Seandainya bisa membelah diri, ingin sekali rasanya aku memperbanyak diriku menjadi tiga saat itu. Harus bolak balik Jakarta-Serang demi mengejar target yudisium tepat waktu, paling tidak jangan sampai tertinggal lebih dari 1 periode dengan sahabat-sahabatku yang sudah terlebih dahulu ujian kompetensi. Mengejar UKDI diperiode berikut awalnya menjadi target yang sangat realistis, namun tiba-tiba secara mengejutkan muncul masalah yang membuat ini hanya mimpi. Target UKDI tepat waktu sirna seiring terlambatnya surat bebas skripsiku, 1 jam setelah yudisium usai. Meski berkasku sudah dinyatakan lengkap dihari yang sama yudisium, namun tetap saja aku gagal ikut yudisium, yang juga berarti gagal UKDI dibulan depannya. Kejadian ini seperti kiamat kecil bagiku, tangis tak lagi menjadi penawar yang ampuh kala itu, aku lalu memutuskan travelling untuk mengambil nafas dan kembali merajut asa. Jawa Timur yang kupilih, ternyata cukup mujarab mengobati lukaku. Bromo, Baluran, Batu, Kawah Ijen dan pantai Papuma mempu membuat sedihku menguap. Duka karena gagal UKDI juga terobati karena Alhamdulillah hal yang paling kutakutkan (soal kewajiban biaya semester tambahan) bisa teratasi, sekali lagi Allah menunjukkan KuasaNya.

Aku menyongsong UKDI dengan hati dan otak yang lapang, dengan persiapan yang bisa dibilang sangat minimalis. Aku tak ikut serta dalam tryout yang biasa diselenggarakan sebagai ujian pemanasan sebelum ujian kompetensi yang sebenarnya. Aku juga tak ikut bimbingan belajar diluar (ex; PADI, OPTIMA, MEDISKUS, dll) untuk memantapkan persiapan perang (Biaya yang terbilang tak sedikit menjadi pertimbangan utamaku). Bimbingan kampus? Ya, aku ikut lebih karena ini bersifatnya wajib. Belajar kelompok? Sayang sekali misi belajar bersama teman-temanku gagal seiring kesibukan mereka bimbel sana sini. Jangan pikir aku sudah mencuri start jauh-jauh hari karena punya waktu kosong nyaris 3 bulan. Aku mulai latihan membaca contoh soal ujian tepat 30 hari jelang eksekusi tiba. 2 minggu sebelum ujian, kampus mengadakan tryout untuk melihat sejauh mana kesiapan kami, dan nilaiku?? 51 saja dari 100 angka maksimal, artinya aku masih jauh dibawah target minimal lulus yakni 62 poin.

Aku mulai belajar dalam artian yang sebenarnya adalah H-14 hari, pasca tryout. Aku belajar dari bahan-bahan soal dari para sahabat baik yang sudah lebih dulu mengecap UKDI. Aku banyak latihan soal dari buku-buku paket warisan nenek moyang tadi. Belajar dari buku paket yang sudah dilengkapi jawaban, terbukti amat sangat membantu, *terlebih bagiku yang otaknya masih "hipertimpani" ini. Latihan soal, lalu membaca kunci jawaban beribu soal itu, lumayan mencerahkan teman!. Perlahan amunisi perangku mulai terisi. Aku juga tak lupa ikut memfotokopi soal-soal dari bimbingan belajar yang diikuti teman-temanku, dari sana bisa didapatkan gambaran tentang soal-soal yang akan kuhadapi diujian yang sesungguhnya besok.

H-2 seharusnya menjadi injury time dan waktu rehat untuk memberikaan oksigenasi yang cukup agar otak bisa lebih fresh menghadapi ujian yang tinggal menghitung jam, itu juga berlaku untukku. H-2 aku berhasil menamatkan buku “Menikah untuk Bahagia” dan “Jangan Bodoh Mencari Jodoh”, lagi kesambet apa aku? Haha.. entahlah :)). H-1 setelah pembagian kartu ujian, aku ternyata termasuk peserta ujian pagi dan gelombang perdana. Itu berarti aku sudah harus bersiap lebih dini untuk sebelumnya menjalani karangtina. Malamnya aku yang dilanda gundah gulana mencoba bertahan sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, sebelum akhirnya mataku tak lagi perkasa menghalau kantuk yang sudah menyergap sejak tadi. Aku pun sukses tertidur cantik dengan masih memegang modul soal bimbel kopian teman, yang belum selesai kutamaatkan. Tanpa bantuan alaram aku terbangun 3 jam kemudian, lagi-lagi Allah Maha Baik, beliau memberiku waktu mengadu pada-Nya disepertiga malam yang mustajab.

Percaya nggak percaya, saat membaca 200 soal yang tertera dikomputer, aku nyaris tak kuasa menahan haru, entah mengapa aku merasa pernah membaca nyaris kesemua soal ini. Meski tak selalu yakin dengan jawabanku, tapi setidaknya semua soal tsb masih mampu ku analisa dengan baik. 200 soal selesai dalam waktu 110 menit, masih banyak waktu untuk membuatku kembali menelaah satu demi satu soal tadi. Sekali lagi untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa bergumam pelan... Allah Maha Baik.

Tepat hari ini, aku terbangun dan mendapati sms dari sahabat karibku Decil. Ia mengatakan pengumuman hasil sudah ada, lalu menanyakan soal hasil UKDIku. Setahuku pengumuman baru akan keluar tanggal 23 nanti, namun ternyata pengumuman memang sudah terpampang nyata di website resmi AIPKI-KDPI. Alhamdulillah.. sujud syukurku sembahkan, Allah mengabulkan doaku, entah mungkin karena lelah mendengar doa yang sama kerap kuulang-ulang setelah sholat, juga diantara adzan dan iqamah. Doa serupa yang  juga dikirim oleh orang-orang yang teramat menyayangiku. Allah Maha Baik, hari ini dengan segenap syukurku yang melangit, cita-cita gadis kecil tadi akhirnya terwujud. Terimakasih untuk semua kamu yang menuntun langkahku, untuk semua kamu yang menyelipkan namaku didoamu, untuk semua kamu yang kucintai karena Allah, ini hadiah untukmu.”


Tuesday, December 10, 2013

Dialog (lagi, tentangnya.. tentang rasa)

Alkisah ada seorang gadis yang tengah berjuang untuk mempercayai sebuah kata yang bernama pernikahan. Mungkin ini bukanlah hal yang sulit bagi sebagian orang, tapi ini menjadi sangat sulit baginya. Betapa tidak, ia adalah produk dari sebuah keluarga “broken home.” Tak sepenuhnya kelam memang, namun gurat-gurat luka akibat perpisahan orangtuanya masih lekat di ingatannya, “aku sulit mempercayai sebuah ikatan yang bernama pernikahan”, begitulah kalimat yg berulang kali ia ucap, dalam beberapa kali percakapan kami.
Suatu malam aku melihat ia menangis sesunggukan dengan mata yang menyiratkan kegalauan yg amat. Sulit untuk membuat gadis ini mengurai tanya tadi, mengapa mendung itu hadir?. Akh ternyata ia tengah didera kebingungan tentang perasaannya saat ini. Ia jatuh cinta kawan... ya ia jatuh cinta pada sesosok pria yang menurutnya kharismatik. Aku mengenalnya sebagai si pemilik mata teduh. Lelaki ini adalah calon imam dambaannya, menurut penuturannya, ia adalah lelaki sholeh yang taat pada agama dan sangat menghormati wanita. “Bagaimana aku bisa berpaling dari pesonanya?” tanya gadis ini. “Oke aku mengerti, sebutlah bahwa kamu tengah jatuh cinta padanya, lantas apa yg membuat matamu sembab?. Bukannya jatuh cinta seharusnya membuat sang pencinta berbahagia?.” Gadis ini tertegun beberapa lama. “Melalui seorang teman lelaki ini menyatakan ingin bertaaruf denganku, inilah yang membuatku sedih. Kamu tahu aku lama dibersarkan dalam sebuah rumah yang dingin, sedangkan dia sebaliknya.. ia tumbuh dalam istana yang penuh dengan kehangatan keluarganya. Lalu terpikir, dia bahkan tak akan melihatku jika tahu kondisi keluargaku yang sebenarnya?”, ujarnya sambil sesekali menyeka air matanya yang semakin sulit dibendung. Kenapa kamu bisa berpikir demikian? Tanyaku lagi. “Entahlah, aku takut.. tiba-tiba saja tanya itu menyergap, aku merasa aku tak akan pernah menjadi gadis yang pantas untuk lelaki seperti dia. Apa ini salah? jawablah apa aku salah?.” Aku sejenak terdiam, ini pertanyaan yang sulit dijawab, dan mungkin si lelaki bermata teduhlah yang berhak menjawabnya.
Aku lalu mengusap rambut sahabatku ini.. Ukhti, aku mengenalmu lama, cukup lama untuk tahu isi kulitmu. “Kalaulah pertanyaan itu kamu tujukan padaku, maka jawabanku adalah sangat pantas, kamu sangat pantas untuk dicintai, bahkan oleh lelaki yang berkali lipat lebih baik si pemilik mata teduh.” Tangisnya perlahan berhenti, lalu ia kembali bertanya, “mengapa demikian?”- “Kamu gadis baik, sangat baik.. kamu tumbuh sempurna meski tanpa dua sayap yang harusnya menopangmu. Kamu gadis yang menjaga kesucianmu, tanpa embel-embel mantan dalam catatan percintaanmu. Akh aku saja, tak punya rekam jejak sebersih kamu sahabat. Kamu tahu, kamu punya jiwa sosial yang sangat tinggi, matamu saat melihat mereka yg ‘papa’ itu bercahaya... aku bisa melihatnya, betapa kamu menyayangi dan kerap mendoakan mereka diam-diam. Ada lagi satu amalan yang kupelajari darimu, tentang sebait doa yg diam-diam kau lafadzkan tatkala melewati sebuah makam. Kau selalu mendoakan mereka, meminta kuburnya dilapangkan dan dosa-dosanya diampuni, meraka yang tak pernah kau kenal, dan mungkin saja dilupakan oleh mereka yang mengenalnya. Aku lelah jika harus mengurai betapa mengagumkannya dirimu, jadi berhentilah mengangis ukhti. Kamu indah dan hanya mereka yang indah yang mampu melihat indahmu.” Ditatap lekat-lekatnya mataku, seolah mencari jawaban apakah yang kuutarakan tadi adalah sebuah kejujuran, atau sebaliknya. “Kamu tak percaya? Adakah yang kukatakan tadi yang tak kau perbuat?. “Aku tak mengatakan ini hanya untuk meredakan tangismu, tidak sama sekali. Aku ingin membuka kamu matamu, bercerminlah... tapi bercerminlah pada kaca yang bersih, lalu lihatlah rupamu yang sejati. Berhentilah berpikir yang tidak-tidak, tentang presepsi si lelaki bermata teduh, tentang masa depanmu dan terutama tentang pernikahan. Kamu gadis baik, dan sesuai janji-Nya pastilah akan berjodoh dengan dia yang baik pula.”
“Aku mencoba memahami mengapa kamu terkadang melihat penikahan sebagai sebuah surga dan neraka nyaris dalam sebuah bingkai yang sama. Tapi kamu juga harus tahu bahwa esensi pernikahan tak sesederhana itu. Praktisnya, kamu baru akan tahu ketika kau menapakinya... nah, yang perlu kamu lakukan hanya satu ukhti, berbenah. Mulailah membenahi hatimu, meyusun kembali memori indah tentang sebuah keluarga, tentang sebuah pertalian suci yang bernama pernikahan. Kau harus merobohkan benteng-benteng yang kau bangun tinggi-tinggi untuk bisa memahami hal ini. Kemudian tentang rasa yang diam-diam tumbuh kepada si lelaki bermata teduh, kamu tak punya banyak pilihan selain membuatkan bilik, yang harus kau tutup rapat-rapat. Singkaplah tutup itu sampai jawaban tentang ‘dia’ tak lagi abu-abu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik bagimu, semuanya kembali lagi padamu, seberapa banyak langkah maju yang mau kamu tempuh dan seberapa banyak ibrah yang mau kamu petik dari semua hal yang terjadi padamu.”

Gadis manis ini tak berkata-kata, hanya anggukan kecil dan tatapan haru yang tersirat dari binar mata indahnya. Ia lalu memelukku, erat dan bergumam “syukron ukhti, kini aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Definisi Baik

Disatu malam dengan latar rintik hujan yang terdengar syahdu, berlangsung sebuah percakapan singkat tentang definisi baik. Yaah... kami yang malam ini memutuskan untuk tidur lebih cepat dari biasanya, ternyata belum berhasil menjinakkan mata kami. Alhasil dari pada sibuk menghitung jumlah domba demi mengundang kantuk, kami akhirnya terlibat dalam obrolan malam yang lagi-lagi tentang topik yang serupa tapi sama.

Nyndia: Kak kalo kamu tiba-tiba dilamar gimana?
Aku: Ya gimana? Kalo yang datang orangnya baik ya aku terima mungkin... Hehehe...
Nyndia: Orang yang baik itu kaya' mana sih?
Aku: Definisi baik menurut setiap orangkan beda-beda. Kamu bisa bilang dia orang baik, sedang menurutku bisa jadi biasa aja, atau sebaliknya aku memuji dia baik setinggi langit, sedang kamu bilang... nothing special ah kak!
Nyndia: Maksudnya gimana kak? Jelasin doong..
Aku: Kriteria baik menurutku bukan hanya soal dia taat pada Allah, dan memuliakan keluarganya, tapi juga dia yang tidak merokok. Sebutlah ini syarat yang terbilang muluk bagi sebagian orang, tapi mutlak menurutku. (Lagi-lagi prinsipku soal perokok aktif tidak bisa ditawar, “sama dirinya sendiri aja g’ sayang, gimana mau sayang orang lain??”. Pemahaman soal ini beberapa kali dikritisi sahabat dekatku. ”Kamu jangan bikin standar kayak gitu deh, aku aja juga tadinya g suka sama perokok, eh dapetnya si dia yang ternyata perokok... tapi ya mau gimana lagi?, udah keburu sayang sih”, ujar temanku yang berencana menikah tahun depan. Jujur, sulit bagiku untuk mengagumi apalagi jatuh cinta dengan lelaki yang juga perokok, entah mengapa seseorang yang awalnya menurutku mempesona akan langsung menjadi biasa ketika kebiasaan merokoknya terungkap. Akh maaf teman, sepertinya agaknya susah mentolerir yang satu ini -_-).
Nyndia: Oh gitu ya kak? Ini seperti definisi baik menurut temanku yang menilai seseorang dari banyak sedikitnya hapalan qur’annya ya?.
Aku: Yap! bisa jadi hafidz qur’an yang sudah khatam sekian juz adalah kriteria baik menurut temanmu dan mereka yang hanya hapal sekian surat di juz 30 tergolong biasa-biasa saja. Bagiku  justru hal tsb bukan masalah karena aku sadar hapalan aku juga ala kadarnya, trus ngarep dia yang hapalannya banyak? Itu mah aku yang g ngaca! >,<. Dari sini kita juga bisa paham mengapa kita bisa mencintai orang yang berbeda-beda. Kebayang g, kalo definisi “baik” menurut semua manusia itu sama?, mungkin satu orang bisa diperebutkan jutaan bahkan miliaran manusia. So, sekarang tugas kita tinggal berbenah, memperbaiki kekurangan kita yang berjibun ini, ingat  hukum kepantasan;  yang baik untuk yang baik.
Nyndia: Iya kak.. semoga bisa istiqomah memperbaiki diri dan pastinya kita tidak jatuh kedalam maksiat pacaran. Haha... :D
Aku: Yuhuuu... Amiiin... Bisa g’ pernah pacaran sampai detik ini sebetulnya ajaib bagiku, wong orang yang aku taksir kan tipakal ikhwan gitu.. boro pacaran komunikasi yang g penting aja tidak. Itulah hebatnya Allah, beliau tahu iman aku lemah, coba aja kalo orang yg aku taksir ngajak pacaran... pasti udah ngangguk deh aku. Hahaha...
Nyndia: Iya sama kak...
Aku: Udah ah ngantuuk... galau timenya kapan-kapan dilajutin lagi yaa...
Nyndia: Zzzzzzzzzzz... *hening ( Dia udah nyuri start duluan ternyata >,<")

I’am a Lucky Girl?


Pernah dengar kalimat yang bilang  “Orang rajin bisa mengalahkan orang pintar, namun keduanya dikalahkan oleh orang yang beruntung”?. Aku pernah mengalami moment yang merangkum kalimat diatas, percaya g percaya.. orang beruntung itu memang ada kawan. Kisah ini bermula ketika aku duduk dibangku SMA, saat itu sekolah membuka pendaftaran pelatihan untuk bakal calon peserta olimpiade sains. Sebagai murid rata-rata dalam hal akademik, awalnya aku tak tertarik mendaftar dibidang apapun. Guru asuhku adalah guru biologi handal lulusan IPB, beliau memotivasiku coba mendaftar dikelas Biologi. Oke, bukan saran yang muluk, mengingat dibanding mata pelajaran lain (Matematika, Fisika dan Kimia), nilai Biologikulah yang paling mendingan, tapi juga tak bisa dibilang excellent. Aku memang tipe yang lebih suka bergelut dengan kata ketimbang harus berjibaku dengan rumus ngejelimet. Tapi jujur dibanding Biologi aku lebih tertarik Bahasa Indonesia, Geografi dan Sejarah.. Hahaha... (kok iso yo nyasar di FK??:D). Aku lalu memberanikan diri memilih Biologi, sialnya peminat Biologi tak tanggung-tanggung! kelas diiisi oleh wajah-wajah meyakinkan penghuni rangking umum. Jangan ditanya rangking umumku berapa, wong masuk rangking dikelas aja tidak -.- #kalem, bahkan si pemilik rangking 1 diangkatanku yang juga pemegang juara umum se-sekolah turut meramaikan kompetisi (Saat ini beliau tengah merampungkan tesis master di Virginia tech University, US). Bisa dibilang diatas kertas, kans aku untuk menjadi wakil sekolah ke ajang yang lebih tinggi bisa dibilang mustahil. Itu menurut itung-itungan manusia loh yaa, tapi tenyata Allah berkendak lain.

Seleksi olimpiade ini berjenjang, dari tahap sekolah, kabupaten, provinsi lalu nasional. Di tahap sekolah nilai aku tenyata memenuhi syarat untuk dikirim ke level kabupaten, ada 5 orang waktu itu dan aku mungkin nama yang paling tidak diunggulkan. Tak disangka-sangka saat pengumumuan hasil final kabupaten, namaku menempati posisi pertama, yaah nilaiku bahkan jauh mengungguli peringkat ke2 yang diisi oleh seniorku anak kelas 2 (Saat ini beliau sdh wara wiri di Tipi sbg pemenang kontes sebuah merk susu khusus lelaki, juga berprofesi sbg dokter #sekilasinfo), dan peringkat 3 yang diisi temanku si pemilik rangking umum. See?? Jangan tanya bagaimana perasaanku waktu itu?? Bingung... haru... g percaya!! Kesemuanya diseduh jadi satu :D. Seingatku test waktu itu ada 200 nomor dengan sistem serupa SPMB (benar +4, salah -1) dan “bodohnya” aku lupa soal peraturan itu, aku menjawab kesemua 200 soal itu temans! Yaaah... tanpa alpa, dan menjadi satu-satunya peserta yang menjawab semua soal yang diujikan. Alhasil menurut penuturan guruku yang turut menjadi tim penilai, beliau sempat "takikardi" saat lembar jawabanku akan dikoreksi. Guruku khawatir nilai minus, dan itu pasti akan sangat memalukan -_-”.
Juara dilevel kabupaten sebetulnya adalah gambaran dilevel berikutnya, mengapa? Tanpa bermaksud sombong, untuk ukuran regional sekolahku bisa dibilang salah satu yang terbaik. Nyaris dari tahun ketahun wakil olimpiade sains provinsi didominasi sekolah kami, tak tanggung-tanggung presentasinya almost 100%. Jadi bisa dibilang sainganku saat itu teman-teman seperguruanku juga. Sayangnya ditingkat yang lebih tinggi ini, "dewi fortuna" tak lagi menaungiku. Aku hanya duduk diperingkat kedua dan posisi pertama sekaligus wakil ke nasional diisi oleh temanku yang di tingkat kabupaten bertengger di peringkat ke 4. See again? Ga ada yg g mungkin bukan?. Tahun berikutnya (kelas 2), berbekal pengalaman tahun lalu aku pun mengikuti ajang yang sama. Hasilnya? Kejutan tahun lalu kembali berulang, ditingkat kabupaten aku kembali menggondol posisi pertama, dan menjadi runner up ditingkat provinsi. Dari bocoran guruku, ternyata nilaiku dengan temanku yang menjadi juara 1 hanya terpaut 1 soal. Akh, lagi-lagi nyaris... tapi tak apalah setidaknya lewat ajang ini aku menemukan banyak pelajaran tak ternilai, dan satu lagi akupun mendapatkan bonus rupiah yang terbilang lumayan. 2 juta rupiah dibayar tunai (dipotong pajak 25%) dan inilah uang pertama yang kuhasilkan sendiri.. bahagianyaaaa... Waktu itu dengan bangga ku menelpon mamah “Mah, Ika dpt rejeki nih.. mama lagi butuh duit g?” #belagumodeon.  *Berasa kayaaaa bangeeet waktu mengang duit segitu.. Harap maklum! masih ababil kere soalnya.. :D

Kalau ada yang sesumbar berkata saat itu aku juara karena beruntung, ya akupun setuju. Akh terkadang menjadi orang yang beruntung itu menyenangkan kawan! Thanks to Allah... sang pencipta “keberuntungan” yang sejati. So, I’am a lucky girl? Maybe?! :P