Wednesday, December 11, 2013

Dilatasi Memori

Alhamdulillah wa syukurillah... Finally setelah hampir enam tahun mengenyam bangku sekolah kedokteran, gelar itu kini tersemat didepan namaku. Sulit melukiskan seberapa bahagianya hari ini. Setiap pencapaian seyogyanya diwarnai oleh manis getirnya sebuah perjuangan, begitupun aku dan ini kisahku.

Seorang gadis kecil terlihat sibuk merobek kertas menjadi bagian-bagian kecil. Sang gadis lalu mencorat coret kertas tadi dengan beragam tulisan; Amoksisilin 3x1, Decolgen 2x1, dan entah obat apalagi yang dituliskan jemari kecil itu. Setelah diamati dengan seksama, sang gadis kecil ternyata tengah berperan sebagai dokter, dengan penuh semangat ia lalu berbicara pada pasien fiktifnya “Ini ya pak obatnya, tolong diminum ya sampe habis.” Semesta berbisik “butuh waktu lima belas tahun, untuk mewujudkan mimpimu sayang.”

Kalau mendengar cerita orangtuaku, selalu ada haru yang terselip “siapa yang sangka kamu bisa jadi dokter nak?.” Aku waktu kecil dilahirkan dengan berat lahir dibawah rata-rata normal (BBLR) dan menderita asfiksia (kondisi dimana bayi kekurangan oksigen), sewaktu kecil aku hampir tak pernah mendapat imunisasi karena selalu sakit saat waktu imunisasi tiba. Namun Alhamdulillah aku mendapat asupan ASI nyaris selama 2 tahun (mungkin inilah alasan dibalik sistem imunku yang cukup kuat ini.. itulah hebatnya ASI). Aku dibesarkan dalam keluarga yang tergolong biasa-biasa saja, papaku PNS yang memulai karir dari golongan 2 dan mama hanya ibu rumah tangga biasa, yang kemudian perlahan mulai "berkarir" demi membantu keuangan keluarga. Masa kecilku aku habiskan disebuah rumah sederhana di kompleks Perum BTN. Namun cita-cita menjadi dokter sudah aku tulis sejak pertama kali menulis kolom biodata di buku harian teman-teman SDku. Kala itu mungkin memang hampir sebagian besar anak kecil sangat kompak menuliskan “dokter” sebagai pilihan karir masa depannya.

Perekonomian keluargaku berputar seperti roda.. pernah aku merasakan hidup serba ada, lalu berganti lagi menjadi serba pas-pasan. Biaya kuliah kedokteran yang entah kenapa semakin melangit, sungguh tak bersahabat dengan kondisi keuangan keluargaku. Soal mengapa aku bisa terdampar kuliah kedokteran swasta yang masuk rangking 10 besar berbiaya kuliah termahal ini? Sebutlah ini suratan takdir sang sutradara kehidupan. Kuliah dikampus swasta jelaslah bukan cita-cita siapapun, termasuk aku (kecuali yang udah tajir dari orok mungkin?:). Namun ketika pintu FK negeri seolah-olah tertutup, maka tak ada pilihan lain, selain mencoba peruntungan nasib di kampus berlabel swasta.

Dalam mengarungi masa perkuliahanku, ada momen yang tak bisa aku lupakan, yaitu saat aku hampir tak bisa mengikuti perkuliahan disemester berikutnya (semester 6-7 kalo tidak salah), ini lantaran aku belum menyelesaikan pembayaran biaya SPP. Kalo dipikir-pikir sekarang momen itu memang sedikit dramatis, aku bahkan sampai harus mengemis pada petinggi kampus agar tak sampai mendiskualifikasikanku. Namaku juga sampai tak masuk di absen reguler saat itu. Tapi Allah Maha Baik, seorang kerabat mengulurkan tangan untuk membantu menyelesaikan masalah itu.

Lain lagi soal masa per'koas'an, masa inilah yang paling cetar menurutku. Perihal ekonomi tak lagi menjadi bintang saat itu, meski juga masih terselip ditengah-tengah perjuangan menyelesaikan stase demi stase yang menguji mental juangku. Namun masalah intern keluargalah yang paling  menyita konsentrasiku waktu itu. Tahun 2012 sampai 2013 benar-benar penuh warna kawan! Jika boleh meminta aku tak ingin diuji dengan hal yg demikian lagi.

Aku bisa lulus S.Ked tepat waktu, namun dunia koas kujalani setengah terseok. Stase perdanaku tak perjalan mulus, sehingga aku pun memutuskan rehat sebulan, kalah start dari sejawat yang lain. Dipertengahan jalan aku kembali harus menerima kado libur yang termat panjang, lebih dari 10 minggu kawan! Dan libur itu aku putuskan untuk kuhabiskan dirumah tercinta (setelah nyaris 2 th tak pulang). Selepas hibrinasi aku lalu melanjutkan perjalanan stase yang menyisakan 5 bagian lagi, sebelum akhirnya harus menghadapi minggu-minggu paling berat dalam fase ini. Disaat aku merasa perjuanganku sudah hampir mencapai klimaks (koas beres), tak disangka ujian lain hadir. Ujian obgyn dengan penguji yang paling “angker” ditambah orentasi ujian Bedah dengan konsulen yang  tak kalah sangar, masih ditambah lagi dengan menyelesaikan deadline skripsi dengan pembimbing yang kapabilitasnya terkenal sangat mumpuni dibidangnya. Seandainya bisa membelah diri, ingin sekali rasanya aku memperbanyak diriku menjadi tiga saat itu. Harus bolak balik Jakarta-Serang demi mengejar target yudisium tepat waktu, paling tidak jangan sampai tertinggal lebih dari 1 periode dengan sahabat-sahabatku yang sudah terlebih dahulu ujian kompetensi. Mengejar UKDI diperiode berikut awalnya menjadi target yang sangat realistis, namun tiba-tiba secara mengejutkan muncul masalah yang membuat ini hanya mimpi. Target UKDI tepat waktu sirna seiring terlambatnya surat bebas skripsiku, 1 jam setelah yudisium usai. Meski berkasku sudah dinyatakan lengkap dihari yang sama yudisium, namun tetap saja aku gagal ikut yudisium, yang juga berarti gagal UKDI dibulan depannya. Kejadian ini seperti kiamat kecil bagiku, tangis tak lagi menjadi penawar yang ampuh kala itu, aku lalu memutuskan travelling untuk mengambil nafas dan kembali merajut asa. Jawa Timur yang kupilih, ternyata cukup mujarab mengobati lukaku. Bromo, Baluran, Batu, Kawah Ijen dan pantai Papuma mempu membuat sedihku menguap. Duka karena gagal UKDI juga terobati karena Alhamdulillah hal yang paling kutakutkan (soal kewajiban biaya semester tambahan) bisa teratasi, sekali lagi Allah menunjukkan KuasaNya.

Aku menyongsong UKDI dengan hati dan otak yang lapang, dengan persiapan yang bisa dibilang sangat minimalis. Aku tak ikut serta dalam tryout yang biasa diselenggarakan sebagai ujian pemanasan sebelum ujian kompetensi yang sebenarnya. Aku juga tak ikut bimbingan belajar diluar (ex; PADI, OPTIMA, MEDISKUS, dll) untuk memantapkan persiapan perang (Biaya yang terbilang tak sedikit menjadi pertimbangan utamaku). Bimbingan kampus? Ya, aku ikut lebih karena ini bersifatnya wajib. Belajar kelompok? Sayang sekali misi belajar bersama teman-temanku gagal seiring kesibukan mereka bimbel sana sini. Jangan pikir aku sudah mencuri start jauh-jauh hari karena punya waktu kosong nyaris 3 bulan. Aku mulai latihan membaca contoh soal ujian tepat 30 hari jelang eksekusi tiba. 2 minggu sebelum ujian, kampus mengadakan tryout untuk melihat sejauh mana kesiapan kami, dan nilaiku?? 51 saja dari 100 angka maksimal, artinya aku masih jauh dibawah target minimal lulus yakni 62 poin.

Aku mulai belajar dalam artian yang sebenarnya adalah H-14 hari, pasca tryout. Aku belajar dari bahan-bahan soal dari para sahabat baik yang sudah lebih dulu mengecap UKDI. Aku banyak latihan soal dari buku-buku paket warisan nenek moyang tadi. Belajar dari buku paket yang sudah dilengkapi jawaban, terbukti amat sangat membantu, *terlebih bagiku yang otaknya masih "hipertimpani" ini. Latihan soal, lalu membaca kunci jawaban beribu soal itu, lumayan mencerahkan teman!. Perlahan amunisi perangku mulai terisi. Aku juga tak lupa ikut memfotokopi soal-soal dari bimbingan belajar yang diikuti teman-temanku, dari sana bisa didapatkan gambaran tentang soal-soal yang akan kuhadapi diujian yang sesungguhnya besok.

H-2 seharusnya menjadi injury time dan waktu rehat untuk memberikaan oksigenasi yang cukup agar otak bisa lebih fresh menghadapi ujian yang tinggal menghitung jam, itu juga berlaku untukku. H-2 aku berhasil menamatkan buku “Menikah untuk Bahagia” dan “Jangan Bodoh Mencari Jodoh”, lagi kesambet apa aku? Haha.. entahlah :)). H-1 setelah pembagian kartu ujian, aku ternyata termasuk peserta ujian pagi dan gelombang perdana. Itu berarti aku sudah harus bersiap lebih dini untuk sebelumnya menjalani karangtina. Malamnya aku yang dilanda gundah gulana mencoba bertahan sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, sebelum akhirnya mataku tak lagi perkasa menghalau kantuk yang sudah menyergap sejak tadi. Aku pun sukses tertidur cantik dengan masih memegang modul soal bimbel kopian teman, yang belum selesai kutamaatkan. Tanpa bantuan alaram aku terbangun 3 jam kemudian, lagi-lagi Allah Maha Baik, beliau memberiku waktu mengadu pada-Nya disepertiga malam yang mustajab.

Percaya nggak percaya, saat membaca 200 soal yang tertera dikomputer, aku nyaris tak kuasa menahan haru, entah mengapa aku merasa pernah membaca nyaris kesemua soal ini. Meski tak selalu yakin dengan jawabanku, tapi setidaknya semua soal tsb masih mampu ku analisa dengan baik. 200 soal selesai dalam waktu 110 menit, masih banyak waktu untuk membuatku kembali menelaah satu demi satu soal tadi. Sekali lagi untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa bergumam pelan... Allah Maha Baik.

Tepat hari ini, aku terbangun dan mendapati sms dari sahabat karibku Decil. Ia mengatakan pengumuman hasil sudah ada, lalu menanyakan soal hasil UKDIku. Setahuku pengumuman baru akan keluar tanggal 23 nanti, namun ternyata pengumuman memang sudah terpampang nyata di website resmi AIPKI-KDPI. Alhamdulillah.. sujud syukurku sembahkan, Allah mengabulkan doaku, entah mungkin karena lelah mendengar doa yang sama kerap kuulang-ulang setelah sholat, juga diantara adzan dan iqamah. Doa serupa yang  juga dikirim oleh orang-orang yang teramat menyayangiku. Allah Maha Baik, hari ini dengan segenap syukurku yang melangit, cita-cita gadis kecil tadi akhirnya terwujud. Terimakasih untuk semua kamu yang menuntun langkahku, untuk semua kamu yang menyelipkan namaku didoamu, untuk semua kamu yang kucintai karena Allah, ini hadiah untukmu.”


Tuesday, December 10, 2013

Dialog (lagi, tentangnya.. tentang rasa)

Alkisah ada seorang gadis yang tengah berjuang untuk mempercayai sebuah kata yang bernama pernikahan. Mungkin ini bukanlah hal yang sulit bagi sebagian orang, tapi ini menjadi sangat sulit baginya. Betapa tidak, ia adalah produk dari sebuah keluarga “broken home.” Tak sepenuhnya kelam memang, namun gurat-gurat luka akibat perpisahan orangtuanya masih lekat di ingatannya, “aku sulit mempercayai sebuah ikatan yang bernama pernikahan”, begitulah kalimat yg berulang kali ia ucap, dalam beberapa kali percakapan kami.
Suatu malam aku melihat ia menangis sesunggukan dengan mata yang menyiratkan kegalauan yg amat. Sulit untuk membuat gadis ini mengurai tanya tadi, mengapa mendung itu hadir?. Akh ternyata ia tengah didera kebingungan tentang perasaannya saat ini. Ia jatuh cinta kawan... ya ia jatuh cinta pada sesosok pria yang menurutnya kharismatik. Aku mengenalnya sebagai si pemilik mata teduh. Lelaki ini adalah calon imam dambaannya, menurut penuturannya, ia adalah lelaki sholeh yang taat pada agama dan sangat menghormati wanita. “Bagaimana aku bisa berpaling dari pesonanya?” tanya gadis ini. “Oke aku mengerti, sebutlah bahwa kamu tengah jatuh cinta padanya, lantas apa yg membuat matamu sembab?. Bukannya jatuh cinta seharusnya membuat sang pencinta berbahagia?.” Gadis ini tertegun beberapa lama. “Melalui seorang teman lelaki ini menyatakan ingin bertaaruf denganku, inilah yang membuatku sedih. Kamu tahu aku lama dibersarkan dalam sebuah rumah yang dingin, sedangkan dia sebaliknya.. ia tumbuh dalam istana yang penuh dengan kehangatan keluarganya. Lalu terpikir, dia bahkan tak akan melihatku jika tahu kondisi keluargaku yang sebenarnya?”, ujarnya sambil sesekali menyeka air matanya yang semakin sulit dibendung. Kenapa kamu bisa berpikir demikian? Tanyaku lagi. “Entahlah, aku takut.. tiba-tiba saja tanya itu menyergap, aku merasa aku tak akan pernah menjadi gadis yang pantas untuk lelaki seperti dia. Apa ini salah? jawablah apa aku salah?.” Aku sejenak terdiam, ini pertanyaan yang sulit dijawab, dan mungkin si lelaki bermata teduhlah yang berhak menjawabnya.
Aku lalu mengusap rambut sahabatku ini.. Ukhti, aku mengenalmu lama, cukup lama untuk tahu isi kulitmu. “Kalaulah pertanyaan itu kamu tujukan padaku, maka jawabanku adalah sangat pantas, kamu sangat pantas untuk dicintai, bahkan oleh lelaki yang berkali lipat lebih baik si pemilik mata teduh.” Tangisnya perlahan berhenti, lalu ia kembali bertanya, “mengapa demikian?”- “Kamu gadis baik, sangat baik.. kamu tumbuh sempurna meski tanpa dua sayap yang harusnya menopangmu. Kamu gadis yang menjaga kesucianmu, tanpa embel-embel mantan dalam catatan percintaanmu. Akh aku saja, tak punya rekam jejak sebersih kamu sahabat. Kamu tahu, kamu punya jiwa sosial yang sangat tinggi, matamu saat melihat mereka yg ‘papa’ itu bercahaya... aku bisa melihatnya, betapa kamu menyayangi dan kerap mendoakan mereka diam-diam. Ada lagi satu amalan yang kupelajari darimu, tentang sebait doa yg diam-diam kau lafadzkan tatkala melewati sebuah makam. Kau selalu mendoakan mereka, meminta kuburnya dilapangkan dan dosa-dosanya diampuni, meraka yang tak pernah kau kenal, dan mungkin saja dilupakan oleh mereka yang mengenalnya. Aku lelah jika harus mengurai betapa mengagumkannya dirimu, jadi berhentilah mengangis ukhti. Kamu indah dan hanya mereka yang indah yang mampu melihat indahmu.” Ditatap lekat-lekatnya mataku, seolah mencari jawaban apakah yang kuutarakan tadi adalah sebuah kejujuran, atau sebaliknya. “Kamu tak percaya? Adakah yang kukatakan tadi yang tak kau perbuat?. “Aku tak mengatakan ini hanya untuk meredakan tangismu, tidak sama sekali. Aku ingin membuka kamu matamu, bercerminlah... tapi bercerminlah pada kaca yang bersih, lalu lihatlah rupamu yang sejati. Berhentilah berpikir yang tidak-tidak, tentang presepsi si lelaki bermata teduh, tentang masa depanmu dan terutama tentang pernikahan. Kamu gadis baik, dan sesuai janji-Nya pastilah akan berjodoh dengan dia yang baik pula.”
“Aku mencoba memahami mengapa kamu terkadang melihat penikahan sebagai sebuah surga dan neraka nyaris dalam sebuah bingkai yang sama. Tapi kamu juga harus tahu bahwa esensi pernikahan tak sesederhana itu. Praktisnya, kamu baru akan tahu ketika kau menapakinya... nah, yang perlu kamu lakukan hanya satu ukhti, berbenah. Mulailah membenahi hatimu, meyusun kembali memori indah tentang sebuah keluarga, tentang sebuah pertalian suci yang bernama pernikahan. Kau harus merobohkan benteng-benteng yang kau bangun tinggi-tinggi untuk bisa memahami hal ini. Kemudian tentang rasa yang diam-diam tumbuh kepada si lelaki bermata teduh, kamu tak punya banyak pilihan selain membuatkan bilik, yang harus kau tutup rapat-rapat. Singkaplah tutup itu sampai jawaban tentang ‘dia’ tak lagi abu-abu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik bagimu, semuanya kembali lagi padamu, seberapa banyak langkah maju yang mau kamu tempuh dan seberapa banyak ibrah yang mau kamu petik dari semua hal yang terjadi padamu.”

Gadis manis ini tak berkata-kata, hanya anggukan kecil dan tatapan haru yang tersirat dari binar mata indahnya. Ia lalu memelukku, erat dan bergumam “syukron ukhti, kini aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Definisi Baik

Disatu malam dengan latar rintik hujan yang terdengar syahdu, berlangsung sebuah percakapan singkat tentang definisi baik. Yaah... kami yang malam ini memutuskan untuk tidur lebih cepat dari biasanya, ternyata belum berhasil menjinakkan mata kami. Alhasil dari pada sibuk menghitung jumlah domba demi mengundang kantuk, kami akhirnya terlibat dalam obrolan malam yang lagi-lagi tentang topik yang serupa tapi sama.

Nyndia: Kak kalo kamu tiba-tiba dilamar gimana?
Aku: Ya gimana? Kalo yang datang orangnya baik ya aku terima mungkin... Hehehe...
Nyndia: Orang yang baik itu kaya' mana sih?
Aku: Definisi baik menurut setiap orangkan beda-beda. Kamu bisa bilang dia orang baik, sedang menurutku bisa jadi biasa aja, atau sebaliknya aku memuji dia baik setinggi langit, sedang kamu bilang... nothing special ah kak!
Nyndia: Maksudnya gimana kak? Jelasin doong..
Aku: Kriteria baik menurutku bukan hanya soal dia taat pada Allah, dan memuliakan keluarganya, tapi juga dia yang tidak merokok. Sebutlah ini syarat yang terbilang muluk bagi sebagian orang, tapi mutlak menurutku. (Lagi-lagi prinsipku soal perokok aktif tidak bisa ditawar, “sama dirinya sendiri aja g’ sayang, gimana mau sayang orang lain??”. Pemahaman soal ini beberapa kali dikritisi sahabat dekatku. ”Kamu jangan bikin standar kayak gitu deh, aku aja juga tadinya g suka sama perokok, eh dapetnya si dia yang ternyata perokok... tapi ya mau gimana lagi?, udah keburu sayang sih”, ujar temanku yang berencana menikah tahun depan. Jujur, sulit bagiku untuk mengagumi apalagi jatuh cinta dengan lelaki yang juga perokok, entah mengapa seseorang yang awalnya menurutku mempesona akan langsung menjadi biasa ketika kebiasaan merokoknya terungkap. Akh maaf teman, sepertinya agaknya susah mentolerir yang satu ini -_-).
Nyndia: Oh gitu ya kak? Ini seperti definisi baik menurut temanku yang menilai seseorang dari banyak sedikitnya hapalan qur’annya ya?.
Aku: Yap! bisa jadi hafidz qur’an yang sudah khatam sekian juz adalah kriteria baik menurut temanmu dan mereka yang hanya hapal sekian surat di juz 30 tergolong biasa-biasa saja. Bagiku  justru hal tsb bukan masalah karena aku sadar hapalan aku juga ala kadarnya, trus ngarep dia yang hapalannya banyak? Itu mah aku yang g ngaca! >,<. Dari sini kita juga bisa paham mengapa kita bisa mencintai orang yang berbeda-beda. Kebayang g, kalo definisi “baik” menurut semua manusia itu sama?, mungkin satu orang bisa diperebutkan jutaan bahkan miliaran manusia. So, sekarang tugas kita tinggal berbenah, memperbaiki kekurangan kita yang berjibun ini, ingat  hukum kepantasan;  yang baik untuk yang baik.
Nyndia: Iya kak.. semoga bisa istiqomah memperbaiki diri dan pastinya kita tidak jatuh kedalam maksiat pacaran. Haha... :D
Aku: Yuhuuu... Amiiin... Bisa g’ pernah pacaran sampai detik ini sebetulnya ajaib bagiku, wong orang yang aku taksir kan tipakal ikhwan gitu.. boro pacaran komunikasi yang g penting aja tidak. Itulah hebatnya Allah, beliau tahu iman aku lemah, coba aja kalo orang yg aku taksir ngajak pacaran... pasti udah ngangguk deh aku. Hahaha...
Nyndia: Iya sama kak...
Aku: Udah ah ngantuuk... galau timenya kapan-kapan dilajutin lagi yaa...
Nyndia: Zzzzzzzzzzz... *hening ( Dia udah nyuri start duluan ternyata >,<")

I’am a Lucky Girl?


Pernah dengar kalimat yang bilang  “Orang rajin bisa mengalahkan orang pintar, namun keduanya dikalahkan oleh orang yang beruntung”?. Aku pernah mengalami moment yang merangkum kalimat diatas, percaya g percaya.. orang beruntung itu memang ada kawan. Kisah ini bermula ketika aku duduk dibangku SMA, saat itu sekolah membuka pendaftaran pelatihan untuk bakal calon peserta olimpiade sains. Sebagai murid rata-rata dalam hal akademik, awalnya aku tak tertarik mendaftar dibidang apapun. Guru asuhku adalah guru biologi handal lulusan IPB, beliau memotivasiku coba mendaftar dikelas Biologi. Oke, bukan saran yang muluk, mengingat dibanding mata pelajaran lain (Matematika, Fisika dan Kimia), nilai Biologikulah yang paling mendingan, tapi juga tak bisa dibilang excellent. Aku memang tipe yang lebih suka bergelut dengan kata ketimbang harus berjibaku dengan rumus ngejelimet. Tapi jujur dibanding Biologi aku lebih tertarik Bahasa Indonesia, Geografi dan Sejarah.. Hahaha... (kok iso yo nyasar di FK??:D). Aku lalu memberanikan diri memilih Biologi, sialnya peminat Biologi tak tanggung-tanggung! kelas diiisi oleh wajah-wajah meyakinkan penghuni rangking umum. Jangan ditanya rangking umumku berapa, wong masuk rangking dikelas aja tidak -.- #kalem, bahkan si pemilik rangking 1 diangkatanku yang juga pemegang juara umum se-sekolah turut meramaikan kompetisi (Saat ini beliau tengah merampungkan tesis master di Virginia tech University, US). Bisa dibilang diatas kertas, kans aku untuk menjadi wakil sekolah ke ajang yang lebih tinggi bisa dibilang mustahil. Itu menurut itung-itungan manusia loh yaa, tapi tenyata Allah berkendak lain.

Seleksi olimpiade ini berjenjang, dari tahap sekolah, kabupaten, provinsi lalu nasional. Di tahap sekolah nilai aku tenyata memenuhi syarat untuk dikirim ke level kabupaten, ada 5 orang waktu itu dan aku mungkin nama yang paling tidak diunggulkan. Tak disangka-sangka saat pengumumuan hasil final kabupaten, namaku menempati posisi pertama, yaah nilaiku bahkan jauh mengungguli peringkat ke2 yang diisi oleh seniorku anak kelas 2 (Saat ini beliau sdh wara wiri di Tipi sbg pemenang kontes sebuah merk susu khusus lelaki, juga berprofesi sbg dokter #sekilasinfo), dan peringkat 3 yang diisi temanku si pemilik rangking umum. See?? Jangan tanya bagaimana perasaanku waktu itu?? Bingung... haru... g percaya!! Kesemuanya diseduh jadi satu :D. Seingatku test waktu itu ada 200 nomor dengan sistem serupa SPMB (benar +4, salah -1) dan “bodohnya” aku lupa soal peraturan itu, aku menjawab kesemua 200 soal itu temans! Yaaah... tanpa alpa, dan menjadi satu-satunya peserta yang menjawab semua soal yang diujikan. Alhasil menurut penuturan guruku yang turut menjadi tim penilai, beliau sempat "takikardi" saat lembar jawabanku akan dikoreksi. Guruku khawatir nilai minus, dan itu pasti akan sangat memalukan -_-”.
Juara dilevel kabupaten sebetulnya adalah gambaran dilevel berikutnya, mengapa? Tanpa bermaksud sombong, untuk ukuran regional sekolahku bisa dibilang salah satu yang terbaik. Nyaris dari tahun ketahun wakil olimpiade sains provinsi didominasi sekolah kami, tak tanggung-tanggung presentasinya almost 100%. Jadi bisa dibilang sainganku saat itu teman-teman seperguruanku juga. Sayangnya ditingkat yang lebih tinggi ini, "dewi fortuna" tak lagi menaungiku. Aku hanya duduk diperingkat kedua dan posisi pertama sekaligus wakil ke nasional diisi oleh temanku yang di tingkat kabupaten bertengger di peringkat ke 4. See again? Ga ada yg g mungkin bukan?. Tahun berikutnya (kelas 2), berbekal pengalaman tahun lalu aku pun mengikuti ajang yang sama. Hasilnya? Kejutan tahun lalu kembali berulang, ditingkat kabupaten aku kembali menggondol posisi pertama, dan menjadi runner up ditingkat provinsi. Dari bocoran guruku, ternyata nilaiku dengan temanku yang menjadi juara 1 hanya terpaut 1 soal. Akh, lagi-lagi nyaris... tapi tak apalah setidaknya lewat ajang ini aku menemukan banyak pelajaran tak ternilai, dan satu lagi akupun mendapatkan bonus rupiah yang terbilang lumayan. 2 juta rupiah dibayar tunai (dipotong pajak 25%) dan inilah uang pertama yang kuhasilkan sendiri.. bahagianyaaaa... Waktu itu dengan bangga ku menelpon mamah “Mah, Ika dpt rejeki nih.. mama lagi butuh duit g?” #belagumodeon.  *Berasa kayaaaa bangeeet waktu mengang duit segitu.. Harap maklum! masih ababil kere soalnya.. :D

Kalau ada yang sesumbar berkata saat itu aku juara karena beruntung, ya akupun setuju. Akh terkadang menjadi orang yang beruntung itu menyenangkan kawan! Thanks to Allah... sang pencipta “keberuntungan” yang sejati. So, I’am a lucky girl? Maybe?! :P

Monday, September 30, 2013

Satu Kota Seribu Cerita

*Tulisan jadoel dipengunjung 2007

Sesaat lagi tahun 2007 akan berucap Sayonara pada seruruh umat di bumi ini. Sepertinya kini pergantian tahun berasa begitu cepat. Serasa baru kemaren binar kemeriahan menyambut tahun 2007, tapi dengan sekejap tahun itu beranjak pergi… bak sebuah mimpi saja!!. Akupun demikian.. seolah begitu dilenakan oleh waktu.. tanpa terasa kini Ku telah memasuki babak baru dalam manapaki kehidupanku.

Awal tahun hingga dua pertiga tahun 2007 Kuhabiskan di Kota Pahlawan.. kota yang memeberiku bejuta pengalaman yang tak mungkin ku lupa. Kota yang menempa diriku menjadi sosok yang lebih mandiri, yang memberiku sekelumit pelajaran tentang hidup dengan bumbu yang menyertainya. Surabaya… (Surabaya.. surabaya.. oh surabaya.. Kota kenangan.. kota kenangan yang tak kulupa..)

Kutapaki perjalanan di akhir tahun 2006 sebagai sesosok gadis yang beranjak dewasa. Begitu banyak suka dan duka yang meramaikan hariku, mulai dari mencari kos-kosan hingga masa adaptasi harus kujalani. Masih terekam jelas dimemoriku ketika siang itu aku dan Ko’ Ito ( My Second Oppa ) di bantu temannya berjalan, berputar-putar di tengah terik matahari yang begitu menyengat demi mencari kos-kosan. Kami keliling dari rumah ke rumah di daerah seputaran Kampus C UNAIR, hingga akhirnya perjalanan kami berbuah manis. Kami bertemu dengan seorang ibu yang ternyata orang Gorontalo juga. Bahagia sekali rasanya bisa bertemu dengan orang sedaerah di tempat yang teramat asing ini, Ia lalu membawa kami ke kosan milik putrinya.

Kebahagiaanku terasa lengkap dan sempurna ketika aku dipertemukan dengan para penghuni kos yang ramah dan baik hati seperti K’ Olan.. Ia adalah mahasiswi FKH Unair yang sedang menyusun skripsi.. UpS.. dia orang GTLO jg lho!!! Aku bisa bebas berlogat-logat daerah ria dengannya, maklum dalam keseharian kami harus berlogat Jawa yang sempat membuat lidahku jungkir balik :), ada mba Indah (FKH ‘05) yang Cerewet dan selalu membuat suasana kosan jadi rame, ada juga mba Vidya (FKM ‘04), mba Yenny (BIO ‘04), mba Shinta (FKH ‘03) dan mba Nana (FKM ‘02). dan Bu’ Mega (si empunya Kos), kesemuanya membuatku seolah berada dirumahku sendiri.

Dikampus nuansa yang tak jauh bedapun Kudapati. Teman-teman baru yang super Supel dan Baik. membuat semarak hari-ku selanjutnya. Novita Kurnia Sari. dia adalah sahabat terdekatku, dimana ada aku pasti ada dia.. begitu pula sebaliknya. Aku pertama kali berkenalan dengannya ketika hari bersejarah, diwaktu kami dikukuhkan sebagai mahasiswa secara resmi. Saat itu aku tengah kebingungan mencari tempat duduk di gedung ruang auditorium yang penuh sesak melihat ada sebuah tempat kosong disamping seorang gadis manis berkacamata. Maka dengan malu2 aku bertanya padanya apa tempat disebelahnya itu kosong. Akhirnya Ku duduk di tempat yang ternyata memang kosong itu, Kami mulai berbincang tentang banyak hal.. dari A sd Z, perlahan kebekuan diantara kamipun mencair.

Setelah beberapa saat asyik bercerita, Novi lalu menanyakan asal daerahku, mungkin lantaran mendengar logat alias gaya bicaraku yang tidak lazim. Setelah kujawab "Aku dari Gorontalo", sesaat dia diam lalu bertanya lagi "Gorontalo itu dimana??" Hmmp ini lantas menjadi pertanyaan lumrah yang harus kujawab. Entahlah, sebenarnya sedikit sedih apa sebegitu tidak terkenalkah tempat lahir tercintaku itu?? Sampai-sampai hampir semua temanku pasti menyeritkan dahi ketika ku menyebut asal daerahku. Ia kembali bertanya "Gorontalo itu dimana yaa??" Huu.. sebel!! Jawaban yang kuberikanpun selalu sama..

“Gorontalo itu Provinsi yang terletak di Sulawesi bagian Utara, dulunya gabung sama SULUT yang beribukota Menado, (Maklum kalo udah bilang Menado baru deh orang pada nggeh’ dan manggut-manggut tanda paham, ada Bunakennya siiy) tapi beberapa tahun lalu sudah memisahkan diri jadi provinsi sendiri..bla..bla..”. Bhuff.. cape’ deeh.. nasib.. nasib.. -_-“
Disamping asal daerah, gaya bicaraku yang rada aneh, marga yang melekat dibelakang namaku juga sering menjadi bahan pertanyaan empuk arek-arek Suroboyo itu..
”Olii itu apaan sih??”
“itu Marga keluargaKu” jawabku sekenanya
"Ooo.. kaya’ punya orang Batak itu to??"
“Iya.. Orang di daerahku juga mencamtumkan marga di belakang namanya”
“Marganya aneh ya.. bla.. bla..bla…” timpal mereka lagi.. Kalo sudah begini Ku hanya bisa tersenyum kecil… maklum… *Bilang aja mirip pelumas aka OLI -_-“

Teman-teman bahkan kerap memanggilku dengan julukan yang beragam seperti Olii.. Oli.. (emang Oli TOP 1??!!), SisGor (Sisca Gorontalo).. atau Mba Gorontalo.. Hehe.. kudu tahan banting niy… ;))Dari pertemuan pertama kami, Aku langung merasakan chemistry yang kuat dengan Novi. Ternyata benar kami memang punya banyak kesamaan dan yang pasti dia bisa memahami diriku sepenuhnya, begitu pula sebaliknya (Iya ngga’ Nov??). Alhasil hari-hariKu selanjutnya banyak kuhabiskan bersama Novi.. mulai dari belajar bareng, nonton, shopping sampe b’wisata kuriner bareng.
Jika diprioritaskan maka orang-orang  yang paling lekat denganku saat di SBY adalah... (NB : DILARANG terharu..tersipu.. apalagi tersanjung :D)

§     K’ Olan… Dia yang banyak membantu dan mengajariku untuk survive dikala Aku yang saat itu masih begitu polos.. suci.. putih.. tanpa dosa.. HuuU.. kaya’ baby dooNg.. He3.. Maklum ajah, jebolan boarding School gitu. Dia yang rela tanpa pamrih menjemputku larut malam di Aspura Kampus, sewaktu ngerjain tugas kelompok pas OSPEK dan mengantarku kekampus tiap pagi (pake’ motornya Bu Meg). Dia yang rela meluangkan waktu menemaniku belanja berbagai kebutuhan pokok demi kelangsungan hidupku. Dia yang mencontohkan bahwa hidup itu akan terasa nikmat jika diisi dengan kerja keras, perjuangan dan belajar tanpa henti. Boleh dibilang dia adalah panutan dan ‘orangtua’Ku saat itu.

§       Novita yang belakangan ku panggil Nobita ; Seperti yang sudah kupaparkan diawal Novita adalah sahabat sekaligus saudara dan salah satu anugrah terindah untukKu.

§        Mba Indah alias mba Dora ; Dia membuat masa2 sulit yang ku alami seolah tak berarti.. dia yang memberi pelajaran yang paling berati untukku tentang arti sebuah persahabatan. Ia yang membuatku memandang hidup dari sisi yang berbeda.

§    Teman2ku di FMIPA BIOLOGI ’06 ; "Keceriaan.. Kekompakkan.. kesetiakawanan.. dan Kenarsisan kalian.. He3;p.. Membuat hari-hariku penuh tawa.. Terima kasih teman!!!"“BIO life.. HimBio jaya!!!”

Moment indah di Surabaya yang takkan kulupakan antara lain : sewaKtU…
1. Aku melihat namaku terukir di papan pengumuman..aliaS dinyatakan diterima sebagai mahasiswa UNAIR.. (Doaku di jamahNya.. Alhamdulillah.. Walau ini second opinion)

2. Bareng koko nyari kosan di tengah teriknya sang surya.. Makasih Koko… Jasamu takkan ku lupa.. U’re My Hero!! 

3. OSPEK.. ada SATGAS yang menakutkan.. ada PENUGASAN2 yang membingungkan.. ada deretan lagu2 yang harus dihapalin.. UpsS.. lagu2nya masih Aku hapal lho sampe skarang.. mau bukti?? ‘Ditimur jawa dwipa.. Megah engkau bertahtah.. Satria, Airlangga.. Kusuma negara..’ (HIMNE Airlangga-red).’Di kehidupan.. wahai kau mahasiswa… tanamkanlah rasa percaya.. dan cinta sesama..’ (HIMNE_HIMBIO) Wuihh.. puanjang.. klo ditulis semua.. :), ada Mas-mas yang ganteng2 (ex Mas Halo Hai :D).

4. Bareng Novi, K’ Olan dan mas Heru maen ke kebun Binatang.. Seru deeh.. Sssttt.. itu kali pertama aku ke kebun binatang lho.. pantesan aja.. rada norak.. HuuU.. Ketahuan deeh.

5. Pindah kosan di Karangmenjangan..karena sesuatu dan lain hal, ku meninggalkan kosanKu di Mulyorejo didampingi K’Olan pastinya. dikosan baru ini ku menemukan karakter2 baru dan suasana yg berbeda dengan sebelumnya.. penghuninya antara laen ; mba Heny (FKU ‘03) yang energik, supel dan tentu saja pinter. mba Nana yg girly dan cuek (Radiologi ‘05), Memey imoet yang jago ramal.. He3..(Psikologi ‘06), Mba Dewi alias Bu dosen (Keperaawatan ‘04), mba Sofi ato Bu bidan(kebidanan ‘03), mba Yasmin dan mba Cici (FKU.. finished..).mba Yuni dan Yuli bersaudara N the last mba Anis yg jagain KoS… Hmmp.. Bergaul dg komunitas mereka membuka cakrawala b’pikirKu.. selangkah lebih maju.

6. Jalan-jalan sore dari kosan ke kampus trus nyasar kemana-mana, mulai dr mall Galaxy sampe stasiun apa ya namanya??… Hahaha... Sendirian!!?? Siapa takuUt??!!

7. Jatuh dengan sukses dari motor Novi. Ceritanya gini, Disuatu siang itu Aku dan Novi habis menyantap makan siang di warung Soto Ayam Lamongan yang terkenal di kawasan Galaxy. Aku yang saat itu memakai rok berbahan licin, membawa tas plastik berisikan soto ayam sbg oleh-oleh tuk K’ Olan dan memegang dompet di tangan yang lain. Terang saja saat berboncengan dg Novi, Aku otomatis tak bisa memegang di pundaknya atau berpegangan seperti biasa. Peristiwa naas itupun tak bisa dihindari, sepanjang perjalanan pulang aku hanya bisa meringis dan tagedi itu menorehkan bekas luka dilengan kananku.. T_T

8. Beranjangsana ke rumah pak Wid di Ngawi pas lebaran tahun 2006 bareng anak2 IC.. Waktu dijalan… Aku didera rasa haus dan lapar yang luar biasa.. Cause, dari kami sekontingen, hanya aku yang tengan Saum alias Puasa hari itu.. Aku kan warga negara yang baek.. jadi patuh dan tunduk sama keputusan pemerintah.. sedang teman2 laen udah pada lebaran.. jadinya sepanjang jalan Aku disuguhi pemandangan yg tidak mengenakkan.. Ku cuman bisa menatap nanar kearah teman-teman yang tengah maem sambil menyeruput Es Degan (Kelapa muda).. HIKss..

9. Ketemu dan Foto bareng Taufik Hidayat.. (Pemain Bulutangkis Favorit Ikha kecil niy!!) Bhuff.. Perjuangannya.. bikin orang2 pada terkagum2 deeh.. Bayangin aja.. Aku mesti dateng sendirian ke mall yang lokasinya dekat Sidoarjo!! (Coz semua temenKu pada berhalangan menemaniKu.. so I’m alone deeh.. tapi tetep nekat!! walau ini kali pertama Aku mendatangi mall ini. Perjalanan ku tempuh dengan naek land P dari depan kosan .. trus turun di seberang jalan mall, dan harus motong jalan raya gede yang kaga’ ada matinya.. kendaraannya padeeet banget. sampai Ku harus nunggu sekitar setengah jam untuk bisa menyebranginya.. itupun dg nyisip di sebelah mba laen yang juga mau nyebrang..He..he.. ditambah nungguin AA’ Taufiknya nongol baru sekitar jam tiga sore.. Walhasil Ku pulang jam 7 malem dengan rute ganti land alias pete2 alias mikrolet 2 kali ditemani buntelan belanjaan yang membumbung tinggi plus sebuah foto Taufik Hidayat yang tengah tersenyum manis.. Cihuiyy… Rasa lelah dan capek yang kurasakan langsung sirna seketika! 

10. Berpetualang ke Madiun dan Yogyakarta bareng salah satu sahabat terbaik yang pernah Ku miliki (Cuman b’dua lho.. Cwe’ pula.. mana itu kali pertama kami datang kesana dengan Kereta api… HuU.. berbagai peristiwa mewarnai our journey.. dari g’ tau rute.. Nyaris kehabisan duit.. Berpindah2 Hotel.. Nyari hotel lewat Yellow map.. ke Malioboro, Pabrik Bakpia 25, Keraton, dan candi Prambanan,.. Keliling naik becak tengah malem.. dan banyak hal seru dan kocak bin horror lainnya yang terukir saat itu. Perjalanan singkat namun penuh warna tadi membuatku belajar tentang berbagai hal yang tak pernah terbayang sebelumnya. ThanKs a Lot Prend!! Perjalanan indah itu tak mungkin bisa terwujud tanpa kehadiranmu.
"Sebuah perjalanan yang singkat memang.. namun sangat layak diabadikan dalam album kenanganKu.." 

Sunday, September 29, 2013

“Aku mencintai diam-diam”


Ini kisah tentang seorang gadis yg hingga usia seperempat abad masih berjuang istiqomah untuk menghilngkan kata “pacaran” dalam kamus hidupnya.
Diusia yang muda belia, gadis yang dibesarkan ditengah keluarga yang jauh dari nilai-nilai islam, pertama kali ditanyakan perihal pacar oleh orangtuanya. Gadis itu dengan  malu-malu menjawab “belum ada ma”. Masa remajanya tergolong sangat biasa, jauh dari warna warni khas remaja pancaroba. Gadis rumahan menghabiskan harinya dengan membaca. Dari buku dan majalah islami inilah, wawasan tentang keislamannya bertambah. Ia jadi tahu bahwa islam tak mengenal pacaran dan berhijab adalah wajib bagi muslimah yang sudah baligh. Padahal sebelumnya si gadis berpikir, pacaran adalah fase wajib yang harus dilewati ketika seseorang mulai beranjak dewasa.
Gadis ini bertumbuh dalam keluarga yang sangat demokratis, tak ada larangan pacaran yang biasanya diwanti-wanti oleh para orangtua kepada anak remajanya. Kedua kakak leleakinya bahkan sudah mulai berpacaran sejak SMP kelas 1. Diakuinya perdebatan tentang "hukum" berpacaran seringkali datang, segelintir teman-temannya yang pro tak henti melancarkan provokasi tentang asiknya pacaran dan alangkah ruginya ia yang tak pernah mengecap “madu” pacaran. Sindiran "sok suci" dan "ga gaul" serta tatapan seolah tak percaya dan menyangsikan perihal statusnya yg tak pernah pacaran, tak juga membuatnya bergeming. Pemandangan bunga yang bermekaran khas musim semi, kerap ia jumpai saat melihat teman-temannya menggandeng mesra pujaannya masing-masing. Namun pemandangan itu bergantin musim gugur, tatkala sang teman berkata “putus” dengan sang pacar. Akh pacaran menjadi hubungan yang rumit dimata si gadis. Haruskah jatuh bangun untuk mengecap “madu” itu?. 

“Aku gadis yang mudah jatuh cinta” ucap gadis itu. Bohong kalau kukatakan aku tak pernah tertarik menjalin hubungan (pacaran) dengan lawan jenis. Ia lalu bercerita tentang cintanya yang tak pernah berbalas. Aku menatapnya lekat, tak ada yang salah dengan paras dan laku gadis ini, namun mengapa cintanya tak pernah berbalas?. Penasaran aku bertanya lagi, mengapa?? “Aku mencintai diam-diam” jawabnya. "Aku mengunci -rasaku- dalam bait-bait puisi disini (sambil menujuk buku hariannya) lalu mengadukannya pada Dia yang Maha mencinta, setelah itu hanya tunggu waktu sampai -rasaku- menguap, tanpa pernah tersampaikan." Sedemikian apik ia mengulum “rasa cintanya", aku sendiri tak tahu apa bisa se-anggun itu mendefinisikan cinta. 

Epilog 
Secret Admirer
Kini gadis itu tak lagi gamang ketika pertanyaan tentang pacar menyapa, ia sudah mengenggam satu keyakinan; Pertalian hati akan terjalin sakral ketika dilandasi dengan niatan yang mulia Lillahi ta’ala. Pemahamannya ini tak serta merta datang, namun lahir dari sebuah proses yang masih terus berjalan. Saat ditanya tentang pacar, jawaban gadis ini masih sama seperti yang dilontarkannya 11 tahun yang lalu, tak ada yang berubah. Bedanya ia tak lagi menjawabnya malu-malu, namun penuh keyakinan. Ia yakin bahwa Allah telah menyiapkan seseorang untuk menjadi imamnya. Meski ia tak pernah tahu kapan perjumpaan mereka dimulai.

Saturday, August 31, 2013

Refleksi ; Hijabku dulu dan kini

Belum lama ini aku mendapat pencerahan, bisa dibilang aku kembali diingatkan Allah tentang sebuah perintahnya yang bisa menjadi indikasi dan tolak ukur tingkat ketaqwaan kita kepada Beliau; HIJAB. Terkenang kembali ihwal mengapa aku memutuskan berhijab. Konon katanya dibalik hijab seseorang, biasanya terselip sebuah pengalaman spiritual. Lantas bagaimana denganku? Adakah pengalaman, mimpi atau bisikan yang menuntunku agar berhijab? Jawabannya tidak. Aku pure berhijab karena tahu bahwa hijab hukumnya wajib bagi setiap muslimah yang sudah baligh. Ini juga kuketahui dari majalah remaja islami favoritku (ANNIDA). Saat itu aku bahkan belum lancar membaca Al Qur’an dan masih duduk dibangku kelas 3 SMP. Menjadi bagian dalam komunitas plurarisme yang jauh dari nilai-nilai Islam terang membuat pemahamanku tentang agama sangatlah minim. Alhamdulillah hidayah Allah menyapa, aku yang sempat begitu membanggakan rambutku diam-diam berikrar ingin segera berhijab. Suatu ketika keinginan ini aku utarakan pada seseorang yang paling penting dalam hidupku, beliau saat itu cukup vokal mempertanyakan keputusan ini, menurutnya postur tubuhku yang dibawah rata-rata (pendek) akan tambah “tenggelam” jika memakai pakaian panjang. Beliau juga menambahkan, toh hijab tak lantas membuat penggunanya berkelakuan lebih baik, lalu mencontohkan beberapa kenalan yang berhijab tapi akhlaknya masih juga minus lantas mempertanyakan korelasi langsung antara hijab dan akhlak. Pengetahuan agama yang masih dangkal membuatku menapik jika harus beradu argumentasi dengan beliau.  Pada akhirnya aku mengeluarkan jurus pamungkas yang terlintas begitu saja saat itu, aku mengatakan ingin melanjutkan SMA disebuah sekolah berasrama yang mewajibkan siswinya berhijab. Sekolah yang digagas oleh BJ Habibie tsb memiliki reputasi sebagai sekolah terbaik di tempatku. Aku bahkan tidak menyiapkan cadangan andai aku tidak diterima disana, Haqqul yakin kalau Allah akan meluluskanku. Ketika itu bacaan Quranku masih sangat kacau namun Alhamdulillah Allah Maha baik... Aku lulus dan akhirnya tepat diusia 15 tahun aku akhirnya berhijab. Pakaian taqwa resmi menjadi pelindungku, hijabku saat itu masih sesuai dengan ketentuan syariat.

--->Gadis itu menatap cermin lekat-lekat, dipandangi wajahnya yang tampak berbeda dari biasanya sebab sebuah kain kini membungkus rambut kebanggaannya dulu. Bismillah ujar gadis itu dalam hati, ia menitikkan air mata haru, perjuangannya untuk meyakinkan ibunda agar meridhoi niatan mulia ini akhirnya membuahkan hasil, meski sedikit disertai aroma “terpaksa” karena anak gadisnya bersikeras untuk menuntut ilmu disekolah berasrama yang terkenal islami. Entah apa yang sebetulnya berkecamuk dalam hati perempuan bermata sipit ini, ia mungkin takut kalau-kalau sang putri berubah dikarenakan hijab yang kini membalut tubuhnya. Ia memang kurang mengenal agama yang dianutnya saat memutuskan menikah dengan seorang muslim pribumi. Ia sepenuhnya mencintai Allah namun pemahaman terhadap ajaran-Nya masih sangat dangkal. Ia tidak bisa membaca Al Quran dan hanya hapal 2 surah pendek yang selalu diulangnya ketika sholat; Al Fatihah dan Al Ikhlas. Diam-diam ia berdoa semoga kekhawatirannya melihat sang anak yang tengah antusias mengenal agamanya, sebetulnya tidak beralasan.<---

Saat pertama kali memasuki sekolah yang dijuluki “penjara suci” ini, aku seperti menemukan atmosfer yang sungguh mengagumkan. Para siswa lalu lalang dengan buku yang tak pernah lepas dari genggaman dengan tampilan syar’i yang menyejukan mata. Wow sepertinya rumor yang berhembus bahwa sekolah ini memiliki standar akademik yang tidak main-main memang benar adanya. Keseriusan para siswa menimba ilmu memang terpampang nyata, pantas saja saringan masuknya ketat. Disini aku menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan tentang agama yang sudah kupeluk sejak lahir. Sekolah ini memadukan pendidikan sains dengan agama dengan racikan yang proporsional. Kami mendapat pelajaran mengenai Al-Quran dan Hadist, Ilmu Fiqih, Aqidah Akhlak, bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam. Belum ditambah rangkaian kegiatan lain yang sarat nilai islam sejak kami bangun ( maksimal pukul 04.00) hingga masuk jam tidur (pukul 22.00). Masa adaptasi dengan ritme kegiatan dan aturan yang dikontrol penuh selama 24 jam, tidak membuatku patah arang. Percayalah jika manusia sungguh sangat elastis, ia perlahan akan mengikuti alur yang didesain habitatnya. Inilah yang terjadi denganku... perlahan namun pasti, aku akhirnya terbiasa. Oke hal ini tentunya tidak semulus perkiraan awam, namun juga tidak sesulit anggapan orang lain. Ingin menjadi muslimah yang kaffah, itulah mimpi sederhanaku saat itu.
Epilog
--->Seorang gadis menatap cermin lekat-lekat, pantulan wajahnya berubah... ya ia bukan lagi gadis 15 tahun yang antusias dengan hijab pertamaanya. 10 tahun berselang begitu cepat, bulan ini umurnya akan genap berusia seperempat abad. Ia berubah... hijabnya pun demikian, sayangnya perubahannya bukan kearah positif namun sebaliknya. Gadis tadi memang masih berbalut hijab namun tak lagi syar’i. Hijabnya kini hanya selembar kain tipis dengan model yang dililitkan diatas dadanya. Entah sejak kapan ia berubah, ia sendiri bahkan seperti tak sadar bahwa ia berubah. Ia seperti lupa dengan ihwal mengapa ia berhijab. Ia lupa dengan baris-baris mimpi yang ditulisnya di lembaran buku hariannya; Ingin menjadi muslimah sholeha. Gadis itu tertegun memandangi cermin, entah apa yang ada dibenaknya kini, sadarkah ia bahwa waktu perlahan tapi pasti telah berhasil menggerus mimpinya?. Perlahan ia membuka penutup kepala transparannya. Diambilnya kain lain yang lebih tebal... gadis tadi berujar; “Bismillah, Ya Allah teguhkanlah hamba untuk menjalankan perintahMu.”<---
09/09/2013, Renungan dikala senja menyapa (Teruntuk diriku dan dirimu yang tengah berjuang menggenggam hidayah-Nya)
Hijab muslimah yang syar’i itu kayak gimana siiih? Masih ada yang belum tahu??

Secara garis besar, hijab syar’i untuk muslimah untuk dipakai kalau keluar dari rumah itu kerudung dan jilbab. Dalilnya bisa dilihat di al-Qur’an surat an-Nur: 31 sama al-Ahzab: 59. Nah, bedanya apa kerudung dan jilbab? Keduanya dipresepsikan sama, padahal asli berbeda. Kerudung atau khimar itu adalah kain yang menutupi kepala. Syarat minimalnya sampai menutupi dada, tapi kalau mau lebih panjang lebih baik, nggak ada larangan. Selain itu, nggak boleh transparan dan nggak boleh ketat. Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata: “Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita.a l-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju). Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”. Nah, jelas kan? Harus bisa menutupi kepala dan dada, dan jangan sampai apa yang ada di baliknya kelihatan.

Lalu bagaimana dengan Jilbab? Sederhananya  jilbab~ gamis atau baju kurung. Pakaian terusan tanpa potongan dari bahu sampai kaki. Jadi, beda dengan kerudung.  Persamaannya, jilbab juga nggak boleh transparan dan ngetat. Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.” Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”

Simpulannya hijab syar’i untuk muslimah yang dipakai ketika keluar rumah itu kerudung/khimar dan jilbab. Keduanya wajib dipakai, nggak boleh nggak. Dan satu yang tak kalah penting adalah jangan tabarruj. Apaan tuh tabarruj? ”..dan janganlah kamu tabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu,” (Q.S. al-Ahzab: 33). Intinya tabarruj yaitu berhias berlebih... modis sih oke... tapi jangan berlebih alias menor. Percaya deh; cantik itu sederhana kawan. Last mempertahankan itu jauh lebih susah daripada meraih... Ayo pegang terus cahaya hidayah yang sudah Allah berikan erat-erat (Sumber; http://andhika-alhazen.blogspot.com dengan beberapa perubahan).