Alhamdulillah
wa syukurillah... Finally setelah hampir enam tahun mengenyam bangku sekolah
kedokteran, gelar itu kini tersemat
didepan namaku. Sulit melukiskan seberapa bahagianya hari ini. Setiap pencapaian seyogyanya diwarnai oleh manis getirnya sebuah perjuangan, begitupun aku dan
ini kisahku.
Seorang
gadis kecil terlihat sibuk merobek kertas menjadi bagian-bagian kecil. Sang gadis
lalu mencorat coret kertas tadi dengan beragam tulisan; Amoksisilin 3x1, Decolgen
2x1, dan entah obat apalagi yang dituliskan jemari kecil itu. Setelah diamati
dengan seksama, sang gadis kecil ternyata tengah berperan sebagai dokter, dengan
penuh semangat ia lalu berbicara pada pasien fiktifnya “Ini ya pak obatnya, tolong diminum ya sampe habis.” Semesta
berbisik “butuh waktu lima belas tahun, untuk mewujudkan mimpimu sayang.”
Kalau
mendengar cerita orangtuaku, selalu ada haru yang terselip “siapa yang sangka kamu bisa jadi
dokter nak?.” Aku waktu kecil dilahirkan dengan berat lahir dibawah
rata-rata normal (BBLR) dan menderita asfiksia (kondisi dimana bayi kekurangan
oksigen), sewaktu kecil aku hampir tak pernah mendapat imunisasi karena selalu
sakit saat waktu imunisasi tiba. Namun Alhamdulillah aku mendapat asupan ASI nyaris selama 2 tahun (mungkin inilah alasan dibalik sistem imunku yang cukup kuat ini.. itulah hebatnya ASI). Aku dibesarkan dalam keluarga yang tergolong
biasa-biasa saja, papaku PNS yang memulai karir dari golongan 2 dan mama hanya
ibu rumah tangga biasa, yang kemudian perlahan mulai "berkarir" demi membantu
keuangan keluarga. Masa kecilku aku habiskan disebuah rumah sederhana di
kompleks Perum BTN. Namun cita-cita menjadi dokter sudah aku tulis sejak
pertama kali menulis kolom biodata di buku harian teman-teman SDku. Kala itu
mungkin memang hampir sebagian besar anak kecil sangat kompak menuliskan “dokter”
sebagai pilihan karir masa depannya.
Perekonomian
keluargaku berputar seperti roda.. pernah aku merasakan hidup serba ada, lalu
berganti lagi menjadi serba pas-pasan. Biaya kuliah kedokteran yang entah kenapa
semakin melangit, sungguh tak bersahabat dengan kondisi keuangan keluargaku. Soal
mengapa aku bisa terdampar kuliah kedokteran swasta yang masuk rangking 10
besar berbiaya kuliah termahal ini? Sebutlah ini suratan takdir sang sutradara
kehidupan. Kuliah dikampus swasta jelaslah bukan cita-cita siapapun, termasuk
aku (kecuali yang udah tajir dari orok mungkin?:). Namun ketika pintu FK negeri seolah-olah tertutup, maka tak ada pilihan
lain, selain mencoba peruntungan nasib di kampus berlabel swasta.
Dalam
mengarungi masa perkuliahanku, ada momen yang tak bisa aku lupakan, yaitu saat
aku hampir tak bisa mengikuti perkuliahan disemester berikutnya (semester 6-7 kalo tidak salah), ini lantaran aku belum menyelesaikan pembayaran biaya SPP.
Kalo dipikir-pikir sekarang momen itu memang sedikit dramatis, aku bahkan
sampai harus mengemis pada petinggi kampus agar tak sampai
mendiskualifikasikanku. Namaku juga sampai tak masuk di absen reguler saat itu.
Tapi Allah Maha Baik, seorang kerabat mengulurkan tangan untuk membantu
menyelesaikan masalah itu.
Lain lagi soal masa per'koas'an, masa inilah yang paling cetar menurutku. Perihal ekonomi tak lagi menjadi bintang saat itu, meski juga masih terselip
ditengah-tengah perjuangan menyelesaikan stase demi stase yang menguji mental juangku.
Namun masalah intern keluargalah yang paling menyita konsentrasiku waktu itu. Tahun 2012
sampai 2013 benar-benar penuh warna kawan! Jika boleh meminta aku tak ingin
diuji dengan hal yg demikian lagi.
Aku
bisa lulus S.Ked tepat waktu, namun dunia koas kujalani setengah terseok. Stase perdanaku
tak perjalan mulus, sehingga aku pun memutuskan rehat sebulan, kalah start dari
sejawat yang lain. Dipertengahan jalan aku kembali harus menerima kado libur
yang termat panjang, lebih dari 10 minggu kawan! Dan libur itu aku putuskan
untuk kuhabiskan dirumah tercinta (setelah nyaris 2 th tak pulang). Selepas hibrinasi aku lalu melanjutkan
perjalanan stase yang menyisakan 5 bagian lagi, sebelum akhirnya harus
menghadapi minggu-minggu paling berat dalam fase ini. Disaat aku merasa
perjuanganku sudah hampir mencapai klimaks (koas beres), tak disangka ujian
lain hadir. Ujian obgyn dengan penguji yang paling “angker” ditambah orentasi
ujian Bedah dengan konsulen yang tak
kalah sangar, masih ditambah lagi dengan menyelesaikan deadline skripsi dengan
pembimbing yang kapabilitasnya terkenal sangat mumpuni dibidangnya. Seandainya bisa membelah diri, ingin sekali
rasanya aku memperbanyak diriku menjadi tiga saat itu. Harus bolak balik
Jakarta-Serang demi mengejar target yudisium tepat waktu, paling tidak jangan
sampai tertinggal lebih dari 1 periode dengan sahabat-sahabatku yang sudah
terlebih dahulu ujian kompetensi. Mengejar
UKDI diperiode berikut awalnya menjadi target yang sangat realistis, namun
tiba-tiba secara mengejutkan muncul masalah yang membuat ini hanya mimpi. Target UKDI tepat waktu sirna seiring terlambatnya surat bebas skripsiku, 1 jam setelah yudisium usai. Meski berkasku sudah dinyatakan lengkap
dihari yang sama yudisium, namun tetap saja aku gagal ikut yudisium, yang juga berarti gagal UKDI dibulan depannya. Kejadian ini seperti kiamat kecil bagiku, tangis tak lagi menjadi penawar yang ampuh kala
itu, aku lalu memutuskan travelling untuk mengambil nafas dan kembali merajut
asa. Jawa Timur yang kupilih, ternyata cukup mujarab mengobati lukaku. Bromo, Baluran, Batu, Kawah Ijen dan pantai Papuma mempu membuat sedihku menguap. Duka karena gagal UKDI juga terobati karena Alhamdulillah hal yang paling kutakutkan (soal kewajiban biaya semester tambahan) bisa teratasi, sekali lagi
Allah menunjukkan KuasaNya.
Aku
menyongsong UKDI dengan hati dan otak yang lapang, dengan persiapan
yang bisa dibilang sangat minimalis. Aku tak ikut serta dalam tryout yang biasa
diselenggarakan sebagai ujian pemanasan sebelum ujian kompetensi yang
sebenarnya. Aku juga tak ikut bimbingan belajar diluar (ex; PADI, OPTIMA, MEDISKUS, dll) untuk memantapkan persiapan perang (Biaya yang terbilang tak sedikit
menjadi pertimbangan utamaku). Bimbingan kampus? Ya, aku ikut lebih karena ini bersifatnya
wajib. Belajar kelompok? Sayang sekali misi belajar bersama teman-temanku gagal
seiring kesibukan mereka bimbel sana sini. Jangan pikir aku sudah mencuri start
jauh-jauh hari karena punya waktu kosong nyaris 3 bulan. Aku mulai latihan
membaca contoh soal ujian tepat 30 hari jelang eksekusi tiba. 2 minggu sebelum
ujian, kampus mengadakan tryout untuk melihat sejauh mana kesiapan kami, dan nilaiku?? 51 saja dari 100 angka maksimal, artinya aku
masih jauh dibawah target minimal lulus yakni 62 poin.
Aku
mulai belajar dalam artian yang sebenarnya adalah H-14 hari, pasca tryout. Aku belajar dari bahan-bahan soal dari para sahabat baik yang sudah
lebih dulu mengecap UKDI. Aku banyak latihan soal dari buku-buku paket warisan
nenek moyang tadi. Belajar dari buku paket yang sudah dilengkapi jawaban,
terbukti amat sangat membantu, *terlebih bagiku yang otaknya masih "hipertimpani" ini.
Latihan soal, lalu membaca kunci jawaban beribu soal itu, lumayan mencerahkan
teman!. Perlahan amunisi perangku mulai terisi. Aku juga tak lupa ikut memfotokopi
soal-soal dari bimbingan belajar yang diikuti teman-temanku, dari sana bisa
didapatkan gambaran tentang soal-soal yang akan kuhadapi diujian yang
sesungguhnya besok.
H-2
seharusnya menjadi injury time dan
waktu rehat untuk memberikaan oksigenasi yang cukup agar otak bisa lebih fresh menghadapi ujian yang tinggal menghitung jam, itu juga berlaku untukku. H-2 aku
berhasil menamatkan buku “Menikah untuk Bahagia” dan “Jangan Bodoh Mencari
Jodoh”, lagi kesambet apa aku? Haha.. entahlah :)). H-1 setelah pembagian kartu ujian, aku ternyata termasuk peserta ujian
pagi dan gelombang perdana. Itu berarti aku sudah harus bersiap lebih dini untuk
sebelumnya menjalani karangtina. Malamnya aku yang dilanda gundah gulana
mencoba bertahan sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, sebelum akhirnya mataku tak
lagi perkasa menghalau kantuk yang sudah menyergap sejak tadi. Aku pun sukses tertidur
cantik dengan masih memegang modul soal bimbel kopian teman, yang belum selesai
kutamaatkan. Tanpa bantuan alaram aku terbangun 3 jam kemudian, lagi-lagi Allah
Maha Baik, beliau memberiku waktu mengadu pada-Nya disepertiga malam yang
mustajab.
Percaya nggak percaya, saat membaca 200 soal yang tertera dikomputer, aku nyaris tak kuasa
menahan haru, entah mengapa aku merasa pernah membaca nyaris kesemua soal ini. Meski
tak selalu yakin dengan jawabanku, tapi setidaknya semua soal tsb masih mampu ku analisa dengan baik. 200 soal selesai dalam waktu 110 menit, masih
banyak waktu untuk membuatku kembali menelaah satu demi satu soal tadi. Sekali
lagi untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa bergumam pelan... Allah Maha Baik.
Tepat
hari ini, aku terbangun dan
mendapati sms dari sahabat karibku Decil. Ia mengatakan pengumuman hasil sudah
ada, lalu menanyakan soal hasil UKDIku. Setahuku pengumuman baru akan keluar tanggal
23 nanti, namun ternyata pengumuman memang sudah terpampang nyata di website resmi AIPKI-KDPI. Alhamdulillah.. sujud syukurku sembahkan, Allah mengabulkan doaku, entah
mungkin karena lelah mendengar doa yang sama kerap kuulang-ulang setelah sholat, juga diantara adzan dan iqamah. Doa serupa yang juga dikirim oleh orang-orang yang teramat menyayangiku.
Allah Maha Baik, hari ini dengan segenap syukurku yang melangit, cita-cita
gadis kecil tadi akhirnya terwujud. “Terimakasih untuk semua kamu yang menuntun
langkahku, untuk semua kamu yang menyelipkan namaku didoamu, untuk semua kamu
yang kucintai karena Allah, ini hadiah untukmu.”