Tuesday, December 10, 2013

Dialog (lagi, tentangnya.. tentang rasa)

Alkisah ada seorang gadis yang tengah berjuang untuk mempercayai sebuah kata yang bernama pernikahan. Mungkin ini bukanlah hal yang sulit bagi sebagian orang, tapi ini menjadi sangat sulit baginya. Betapa tidak, ia adalah produk dari sebuah keluarga “broken home.” Tak sepenuhnya kelam memang, namun gurat-gurat luka akibat perpisahan orangtuanya masih lekat di ingatannya, “aku sulit mempercayai sebuah ikatan yang bernama pernikahan”, begitulah kalimat yg berulang kali ia ucap, dalam beberapa kali percakapan kami.
Suatu malam aku melihat ia menangis sesunggukan dengan mata yang menyiratkan kegalauan yg amat. Sulit untuk membuat gadis ini mengurai tanya tadi, mengapa mendung itu hadir?. Akh ternyata ia tengah didera kebingungan tentang perasaannya saat ini. Ia jatuh cinta kawan... ya ia jatuh cinta pada sesosok pria yang menurutnya kharismatik. Aku mengenalnya sebagai si pemilik mata teduh. Lelaki ini adalah calon imam dambaannya, menurut penuturannya, ia adalah lelaki sholeh yang taat pada agama dan sangat menghormati wanita. “Bagaimana aku bisa berpaling dari pesonanya?” tanya gadis ini. “Oke aku mengerti, sebutlah bahwa kamu tengah jatuh cinta padanya, lantas apa yg membuat matamu sembab?. Bukannya jatuh cinta seharusnya membuat sang pencinta berbahagia?.” Gadis ini tertegun beberapa lama. “Melalui seorang teman lelaki ini menyatakan ingin bertaaruf denganku, inilah yang membuatku sedih. Kamu tahu aku lama dibersarkan dalam sebuah rumah yang dingin, sedangkan dia sebaliknya.. ia tumbuh dalam istana yang penuh dengan kehangatan keluarganya. Lalu terpikir, dia bahkan tak akan melihatku jika tahu kondisi keluargaku yang sebenarnya?”, ujarnya sambil sesekali menyeka air matanya yang semakin sulit dibendung. Kenapa kamu bisa berpikir demikian? Tanyaku lagi. “Entahlah, aku takut.. tiba-tiba saja tanya itu menyergap, aku merasa aku tak akan pernah menjadi gadis yang pantas untuk lelaki seperti dia. Apa ini salah? jawablah apa aku salah?.” Aku sejenak terdiam, ini pertanyaan yang sulit dijawab, dan mungkin si lelaki bermata teduhlah yang berhak menjawabnya.
Aku lalu mengusap rambut sahabatku ini.. Ukhti, aku mengenalmu lama, cukup lama untuk tahu isi kulitmu. “Kalaulah pertanyaan itu kamu tujukan padaku, maka jawabanku adalah sangat pantas, kamu sangat pantas untuk dicintai, bahkan oleh lelaki yang berkali lipat lebih baik si pemilik mata teduh.” Tangisnya perlahan berhenti, lalu ia kembali bertanya, “mengapa demikian?”- “Kamu gadis baik, sangat baik.. kamu tumbuh sempurna meski tanpa dua sayap yang harusnya menopangmu. Kamu gadis yang menjaga kesucianmu, tanpa embel-embel mantan dalam catatan percintaanmu. Akh aku saja, tak punya rekam jejak sebersih kamu sahabat. Kamu tahu, kamu punya jiwa sosial yang sangat tinggi, matamu saat melihat mereka yg ‘papa’ itu bercahaya... aku bisa melihatnya, betapa kamu menyayangi dan kerap mendoakan mereka diam-diam. Ada lagi satu amalan yang kupelajari darimu, tentang sebait doa yg diam-diam kau lafadzkan tatkala melewati sebuah makam. Kau selalu mendoakan mereka, meminta kuburnya dilapangkan dan dosa-dosanya diampuni, meraka yang tak pernah kau kenal, dan mungkin saja dilupakan oleh mereka yang mengenalnya. Aku lelah jika harus mengurai betapa mengagumkannya dirimu, jadi berhentilah mengangis ukhti. Kamu indah dan hanya mereka yang indah yang mampu melihat indahmu.” Ditatap lekat-lekatnya mataku, seolah mencari jawaban apakah yang kuutarakan tadi adalah sebuah kejujuran, atau sebaliknya. “Kamu tak percaya? Adakah yang kukatakan tadi yang tak kau perbuat?. “Aku tak mengatakan ini hanya untuk meredakan tangismu, tidak sama sekali. Aku ingin membuka kamu matamu, bercerminlah... tapi bercerminlah pada kaca yang bersih, lalu lihatlah rupamu yang sejati. Berhentilah berpikir yang tidak-tidak, tentang presepsi si lelaki bermata teduh, tentang masa depanmu dan terutama tentang pernikahan. Kamu gadis baik, dan sesuai janji-Nya pastilah akan berjodoh dengan dia yang baik pula.”
“Aku mencoba memahami mengapa kamu terkadang melihat penikahan sebagai sebuah surga dan neraka nyaris dalam sebuah bingkai yang sama. Tapi kamu juga harus tahu bahwa esensi pernikahan tak sesederhana itu. Praktisnya, kamu baru akan tahu ketika kau menapakinya... nah, yang perlu kamu lakukan hanya satu ukhti, berbenah. Mulailah membenahi hatimu, meyusun kembali memori indah tentang sebuah keluarga, tentang sebuah pertalian suci yang bernama pernikahan. Kau harus merobohkan benteng-benteng yang kau bangun tinggi-tinggi untuk bisa memahami hal ini. Kemudian tentang rasa yang diam-diam tumbuh kepada si lelaki bermata teduh, kamu tak punya banyak pilihan selain membuatkan bilik, yang harus kau tutup rapat-rapat. Singkaplah tutup itu sampai jawaban tentang ‘dia’ tak lagi abu-abu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik bagimu, semuanya kembali lagi padamu, seberapa banyak langkah maju yang mau kamu tempuh dan seberapa banyak ibrah yang mau kamu petik dari semua hal yang terjadi padamu.”

Gadis manis ini tak berkata-kata, hanya anggukan kecil dan tatapan haru yang tersirat dari binar mata indahnya. Ia lalu memelukku, erat dan bergumam “syukron ukhti, kini aku tahu apa yang harus kulakukan.”

No comments:

Post a Comment