Alkisah
ada seorang gadis yang tengah berjuang untuk mempercayai sebuah kata yang
bernama pernikahan. Mungkin ini bukanlah hal yang sulit bagi sebagian orang,
tapi ini menjadi sangat sulit baginya. Betapa tidak, ia adalah produk
dari sebuah keluarga “broken home.” Tak sepenuhnya kelam memang, namun
gurat-gurat luka akibat perpisahan orangtuanya masih lekat di ingatannya, “aku sulit mempercayai sebuah ikatan yang
bernama pernikahan”, begitulah kalimat yg berulang kali ia ucap, dalam
beberapa kali percakapan kami.
Suatu
malam aku melihat ia menangis sesunggukan dengan mata yang menyiratkan
kegalauan yg amat. Sulit untuk membuat gadis ini mengurai tanya tadi, mengapa
mendung itu hadir?. Akh ternyata ia tengah didera kebingungan tentang
perasaannya saat ini. Ia jatuh cinta kawan... ya ia jatuh cinta pada sesosok
pria yang menurutnya kharismatik. Aku mengenalnya sebagai si pemilik mata teduh.
Lelaki ini adalah calon imam dambaannya, menurut penuturannya, ia adalah lelaki
sholeh yang taat pada agama dan sangat menghormati wanita. “Bagaimana aku bisa berpaling dari pesonanya?” tanya gadis ini. “Oke aku mengerti, sebutlah bahwa kamu
tengah jatuh cinta padanya, lantas apa yg membuat matamu sembab?. Bukannya
jatuh cinta seharusnya membuat sang pencinta berbahagia?.” Gadis ini
tertegun beberapa lama. “Melalui seorang teman lelaki ini menyatakan ingin bertaaruf denganku, inilah yang membuatku sedih. Kamu
tahu aku lama dibersarkan dalam sebuah rumah yang dingin, sedangkan dia
sebaliknya.. ia tumbuh dalam istana yang penuh dengan kehangatan keluarganya. Lalu
terpikir, dia bahkan tak akan melihatku jika tahu kondisi keluargaku yang
sebenarnya?”, ujarnya sambil sesekali menyeka air matanya yang semakin sulit
dibendung. Kenapa kamu bisa berpikir demikian? Tanyaku lagi. “Entahlah, aku takut.. tiba-tiba saja tanya
itu menyergap, aku merasa aku tak akan pernah menjadi gadis yang pantas untuk
lelaki seperti dia. Apa ini salah? jawablah apa aku salah?.” Aku sejenak terdiam,
ini pertanyaan yang sulit dijawab, dan mungkin si lelaki bermata teduhlah yang
berhak menjawabnya.
Aku
lalu mengusap rambut sahabatku ini.. Ukhti,
aku mengenalmu lama, cukup lama untuk tahu isi kulitmu. “Kalaulah pertanyaan
itu kamu tujukan padaku, maka jawabanku adalah sangat pantas, kamu sangat
pantas untuk dicintai, bahkan oleh lelaki yang berkali lipat lebih baik si pemilik
mata teduh.” Tangisnya perlahan berhenti, lalu ia kembali bertanya, “mengapa
demikian?”- “Kamu gadis baik, sangat baik.. kamu tumbuh sempurna meski tanpa
dua sayap yang harusnya menopangmu. Kamu gadis yang menjaga kesucianmu, tanpa
embel-embel mantan dalam catatan percintaanmu. Akh aku saja, tak punya rekam
jejak sebersih kamu sahabat. Kamu tahu, kamu punya jiwa sosial yang sangat
tinggi, matamu saat melihat mereka yg ‘papa’ itu bercahaya... aku bisa
melihatnya, betapa kamu menyayangi dan kerap mendoakan mereka diam-diam. Ada lagi
satu amalan yang kupelajari darimu, tentang sebait doa yg diam-diam kau
lafadzkan tatkala melewati sebuah makam. Kau selalu mendoakan mereka, meminta
kuburnya dilapangkan dan dosa-dosanya diampuni, meraka yang tak pernah kau
kenal, dan mungkin saja dilupakan oleh mereka yang mengenalnya. Aku lelah jika
harus mengurai betapa mengagumkannya dirimu, jadi berhentilah mengangis ukhti.
Kamu indah dan hanya mereka yang indah yang mampu melihat indahmu.” Ditatap lekat-lekatnya mataku, seolah mencari
jawaban apakah yang kuutarakan tadi adalah sebuah kejujuran, atau sebaliknya. “Kamu tak percaya? Adakah yang kukatakan
tadi yang tak kau perbuat?. “Aku tak mengatakan ini hanya untuk meredakan
tangismu, tidak sama sekali. Aku ingin membuka kamu matamu, bercerminlah...
tapi bercerminlah pada kaca yang bersih, lalu lihatlah rupamu yang sejati.
Berhentilah berpikir yang tidak-tidak, tentang presepsi si lelaki bermata
teduh, tentang masa depanmu dan terutama tentang pernikahan. Kamu gadis baik, dan
sesuai janji-Nya pastilah akan berjodoh dengan dia yang baik pula.”
“Aku mencoba memahami
mengapa kamu terkadang melihat penikahan sebagai sebuah surga dan neraka nyaris
dalam sebuah bingkai yang sama. Tapi kamu juga harus tahu bahwa esensi
pernikahan tak sesederhana itu. Praktisnya, kamu baru akan tahu ketika kau menapakinya...
nah, yang perlu kamu lakukan hanya satu ukhti, berbenah. Mulailah membenahi
hatimu, meyusun kembali memori indah tentang sebuah keluarga, tentang sebuah
pertalian suci yang bernama pernikahan. Kau harus merobohkan benteng-benteng
yang kau bangun tinggi-tinggi untuk bisa memahami hal ini. Kemudian tentang
rasa yang diam-diam tumbuh kepada si lelaki bermata teduh, kamu tak punya
banyak pilihan selain membuatkan bilik, yang harus kau tutup rapat-rapat. Singkaplah
tutup itu sampai jawaban tentang ‘dia’ tak lagi abu-abu. Aku hanya bisa
mendoakan yang terbaik bagimu, semuanya kembali lagi padamu, seberapa banyak
langkah maju yang mau kamu tempuh dan seberapa banyak ibrah yang mau kamu petik
dari semua hal yang terjadi padamu.”
Gadis
manis ini tak berkata-kata, hanya anggukan kecil dan tatapan haru yang tersirat
dari binar mata indahnya. Ia lalu memelukku, erat dan bergumam “syukron ukhti, kini aku tahu apa yang harus
kulakukan.”
No comments:
Post a Comment