Wednesday, December 11, 2013

Dilatasi Memori

Alhamdulillah wa syukurillah... Finally setelah hampir enam tahun mengenyam bangku sekolah kedokteran, gelar itu kini tersemat didepan namaku. Sulit melukiskan seberapa bahagianya hari ini. Setiap pencapaian seyogyanya diwarnai oleh manis getirnya sebuah perjuangan, begitupun aku dan ini kisahku.

Seorang gadis kecil terlihat sibuk merobek kertas menjadi bagian-bagian kecil. Sang gadis lalu mencorat coret kertas tadi dengan beragam tulisan; Amoksisilin 3x1, Decolgen 2x1, dan entah obat apalagi yang dituliskan jemari kecil itu. Setelah diamati dengan seksama, sang gadis kecil ternyata tengah berperan sebagai dokter, dengan penuh semangat ia lalu berbicara pada pasien fiktifnya “Ini ya pak obatnya, tolong diminum ya sampe habis.” Semesta berbisik “butuh waktu lima belas tahun, untuk mewujudkan mimpimu sayang.”

Kalau mendengar cerita orangtuaku, selalu ada haru yang terselip “siapa yang sangka kamu bisa jadi dokter nak?.” Aku waktu kecil dilahirkan dengan berat lahir dibawah rata-rata normal (BBLR) dan menderita asfiksia (kondisi dimana bayi kekurangan oksigen), sewaktu kecil aku hampir tak pernah mendapat imunisasi karena selalu sakit saat waktu imunisasi tiba. Namun Alhamdulillah aku mendapat asupan ASI nyaris selama 2 tahun (mungkin inilah alasan dibalik sistem imunku yang cukup kuat ini.. itulah hebatnya ASI). Aku dibesarkan dalam keluarga yang tergolong biasa-biasa saja, papaku PNS yang memulai karir dari golongan 2 dan mama hanya ibu rumah tangga biasa, yang kemudian perlahan mulai "berkarir" demi membantu keuangan keluarga. Masa kecilku aku habiskan disebuah rumah sederhana di kompleks Perum BTN. Namun cita-cita menjadi dokter sudah aku tulis sejak pertama kali menulis kolom biodata di buku harian teman-teman SDku. Kala itu mungkin memang hampir sebagian besar anak kecil sangat kompak menuliskan “dokter” sebagai pilihan karir masa depannya.

Perekonomian keluargaku berputar seperti roda.. pernah aku merasakan hidup serba ada, lalu berganti lagi menjadi serba pas-pasan. Biaya kuliah kedokteran yang entah kenapa semakin melangit, sungguh tak bersahabat dengan kondisi keuangan keluargaku. Soal mengapa aku bisa terdampar kuliah kedokteran swasta yang masuk rangking 10 besar berbiaya kuliah termahal ini? Sebutlah ini suratan takdir sang sutradara kehidupan. Kuliah dikampus swasta jelaslah bukan cita-cita siapapun, termasuk aku (kecuali yang udah tajir dari orok mungkin?:). Namun ketika pintu FK negeri seolah-olah tertutup, maka tak ada pilihan lain, selain mencoba peruntungan nasib di kampus berlabel swasta.

Dalam mengarungi masa perkuliahanku, ada momen yang tak bisa aku lupakan, yaitu saat aku hampir tak bisa mengikuti perkuliahan disemester berikutnya (semester 6-7 kalo tidak salah), ini lantaran aku belum menyelesaikan pembayaran biaya SPP. Kalo dipikir-pikir sekarang momen itu memang sedikit dramatis, aku bahkan sampai harus mengemis pada petinggi kampus agar tak sampai mendiskualifikasikanku. Namaku juga sampai tak masuk di absen reguler saat itu. Tapi Allah Maha Baik, seorang kerabat mengulurkan tangan untuk membantu menyelesaikan masalah itu.

Lain lagi soal masa per'koas'an, masa inilah yang paling cetar menurutku. Perihal ekonomi tak lagi menjadi bintang saat itu, meski juga masih terselip ditengah-tengah perjuangan menyelesaikan stase demi stase yang menguji mental juangku. Namun masalah intern keluargalah yang paling  menyita konsentrasiku waktu itu. Tahun 2012 sampai 2013 benar-benar penuh warna kawan! Jika boleh meminta aku tak ingin diuji dengan hal yg demikian lagi.

Aku bisa lulus S.Ked tepat waktu, namun dunia koas kujalani setengah terseok. Stase perdanaku tak perjalan mulus, sehingga aku pun memutuskan rehat sebulan, kalah start dari sejawat yang lain. Dipertengahan jalan aku kembali harus menerima kado libur yang termat panjang, lebih dari 10 minggu kawan! Dan libur itu aku putuskan untuk kuhabiskan dirumah tercinta (setelah nyaris 2 th tak pulang). Selepas hibrinasi aku lalu melanjutkan perjalanan stase yang menyisakan 5 bagian lagi, sebelum akhirnya harus menghadapi minggu-minggu paling berat dalam fase ini. Disaat aku merasa perjuanganku sudah hampir mencapai klimaks (koas beres), tak disangka ujian lain hadir. Ujian obgyn dengan penguji yang paling “angker” ditambah orentasi ujian Bedah dengan konsulen yang  tak kalah sangar, masih ditambah lagi dengan menyelesaikan deadline skripsi dengan pembimbing yang kapabilitasnya terkenal sangat mumpuni dibidangnya. Seandainya bisa membelah diri, ingin sekali rasanya aku memperbanyak diriku menjadi tiga saat itu. Harus bolak balik Jakarta-Serang demi mengejar target yudisium tepat waktu, paling tidak jangan sampai tertinggal lebih dari 1 periode dengan sahabat-sahabatku yang sudah terlebih dahulu ujian kompetensi. Mengejar UKDI diperiode berikut awalnya menjadi target yang sangat realistis, namun tiba-tiba secara mengejutkan muncul masalah yang membuat ini hanya mimpi. Target UKDI tepat waktu sirna seiring terlambatnya surat bebas skripsiku, 1 jam setelah yudisium usai. Meski berkasku sudah dinyatakan lengkap dihari yang sama yudisium, namun tetap saja aku gagal ikut yudisium, yang juga berarti gagal UKDI dibulan depannya. Kejadian ini seperti kiamat kecil bagiku, tangis tak lagi menjadi penawar yang ampuh kala itu, aku lalu memutuskan travelling untuk mengambil nafas dan kembali merajut asa. Jawa Timur yang kupilih, ternyata cukup mujarab mengobati lukaku. Bromo, Baluran, Batu, Kawah Ijen dan pantai Papuma mempu membuat sedihku menguap. Duka karena gagal UKDI juga terobati karena Alhamdulillah hal yang paling kutakutkan (soal kewajiban biaya semester tambahan) bisa teratasi, sekali lagi Allah menunjukkan KuasaNya.

Aku menyongsong UKDI dengan hati dan otak yang lapang, dengan persiapan yang bisa dibilang sangat minimalis. Aku tak ikut serta dalam tryout yang biasa diselenggarakan sebagai ujian pemanasan sebelum ujian kompetensi yang sebenarnya. Aku juga tak ikut bimbingan belajar diluar (ex; PADI, OPTIMA, MEDISKUS, dll) untuk memantapkan persiapan perang (Biaya yang terbilang tak sedikit menjadi pertimbangan utamaku). Bimbingan kampus? Ya, aku ikut lebih karena ini bersifatnya wajib. Belajar kelompok? Sayang sekali misi belajar bersama teman-temanku gagal seiring kesibukan mereka bimbel sana sini. Jangan pikir aku sudah mencuri start jauh-jauh hari karena punya waktu kosong nyaris 3 bulan. Aku mulai latihan membaca contoh soal ujian tepat 30 hari jelang eksekusi tiba. 2 minggu sebelum ujian, kampus mengadakan tryout untuk melihat sejauh mana kesiapan kami, dan nilaiku?? 51 saja dari 100 angka maksimal, artinya aku masih jauh dibawah target minimal lulus yakni 62 poin.

Aku mulai belajar dalam artian yang sebenarnya adalah H-14 hari, pasca tryout. Aku belajar dari bahan-bahan soal dari para sahabat baik yang sudah lebih dulu mengecap UKDI. Aku banyak latihan soal dari buku-buku paket warisan nenek moyang tadi. Belajar dari buku paket yang sudah dilengkapi jawaban, terbukti amat sangat membantu, *terlebih bagiku yang otaknya masih "hipertimpani" ini. Latihan soal, lalu membaca kunci jawaban beribu soal itu, lumayan mencerahkan teman!. Perlahan amunisi perangku mulai terisi. Aku juga tak lupa ikut memfotokopi soal-soal dari bimbingan belajar yang diikuti teman-temanku, dari sana bisa didapatkan gambaran tentang soal-soal yang akan kuhadapi diujian yang sesungguhnya besok.

H-2 seharusnya menjadi injury time dan waktu rehat untuk memberikaan oksigenasi yang cukup agar otak bisa lebih fresh menghadapi ujian yang tinggal menghitung jam, itu juga berlaku untukku. H-2 aku berhasil menamatkan buku “Menikah untuk Bahagia” dan “Jangan Bodoh Mencari Jodoh”, lagi kesambet apa aku? Haha.. entahlah :)). H-1 setelah pembagian kartu ujian, aku ternyata termasuk peserta ujian pagi dan gelombang perdana. Itu berarti aku sudah harus bersiap lebih dini untuk sebelumnya menjalani karangtina. Malamnya aku yang dilanda gundah gulana mencoba bertahan sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, sebelum akhirnya mataku tak lagi perkasa menghalau kantuk yang sudah menyergap sejak tadi. Aku pun sukses tertidur cantik dengan masih memegang modul soal bimbel kopian teman, yang belum selesai kutamaatkan. Tanpa bantuan alaram aku terbangun 3 jam kemudian, lagi-lagi Allah Maha Baik, beliau memberiku waktu mengadu pada-Nya disepertiga malam yang mustajab.

Percaya nggak percaya, saat membaca 200 soal yang tertera dikomputer, aku nyaris tak kuasa menahan haru, entah mengapa aku merasa pernah membaca nyaris kesemua soal ini. Meski tak selalu yakin dengan jawabanku, tapi setidaknya semua soal tsb masih mampu ku analisa dengan baik. 200 soal selesai dalam waktu 110 menit, masih banyak waktu untuk membuatku kembali menelaah satu demi satu soal tadi. Sekali lagi untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa bergumam pelan... Allah Maha Baik.

Tepat hari ini, aku terbangun dan mendapati sms dari sahabat karibku Decil. Ia mengatakan pengumuman hasil sudah ada, lalu menanyakan soal hasil UKDIku. Setahuku pengumuman baru akan keluar tanggal 23 nanti, namun ternyata pengumuman memang sudah terpampang nyata di website resmi AIPKI-KDPI. Alhamdulillah.. sujud syukurku sembahkan, Allah mengabulkan doaku, entah mungkin karena lelah mendengar doa yang sama kerap kuulang-ulang setelah sholat, juga diantara adzan dan iqamah. Doa serupa yang  juga dikirim oleh orang-orang yang teramat menyayangiku. Allah Maha Baik, hari ini dengan segenap syukurku yang melangit, cita-cita gadis kecil tadi akhirnya terwujud. Terimakasih untuk semua kamu yang menuntun langkahku, untuk semua kamu yang menyelipkan namaku didoamu, untuk semua kamu yang kucintai karena Allah, ini hadiah untukmu.”


No comments:

Post a Comment