Bismillahrirrahmanirrahim.
Awal
tahun 2011 lalu saya baru saja meraih gelar sarjana kedokteran umum disebuah
perguruan tinggi swasta di Jakarta. Meskipun lulus tepat waktu (3,5 tahun)
namun IPK yang berada di kelompok rata-rata, jelas merefleksikan usaha yang
saya kerahkan semasa kuliah jauh dari maksimal. Selepas itu saya harus
menjalani kepanitraan klinik (ko-ass) di sebuah Rumah Sakit yang bisa dipilih (karena
kami tidak memiliki RS pendidikan sendiri maka pihak universitas berkerja sama
dengan beberapa RS, sehingga kami bisa menjalani ko-ass disana). Dari sekian
banyak pilihan saat itu, entah mengapa saya memilih RS yang konon kabarnya
paling “angker” dibanding yang lain, sebut saja RSUD “S”. Dari kabar yang
beredar RS ini terkenal dengan aturan yang ketat, paramedis yang kurang
bersahabat dengan ko-ass dan serangkaian cerita tidak mengenakkan lainnya.
Singkatnya ko-ass disana prognosisnya disebut dubia ad malam, dengan kata lain kemungkinan besar akan bernasib
menyedihkan . Saya sendiri tidak habis pikir dari mana keberanian itu datang mengingat
dulu ketika pertanyaan mau ko-ass dimana terlontar, dengan lantang dan tegas
saya menjawab “dimana saja, yang penting
bukan di RSUD S”.
Stase
perdana saya adalah dibagian Ilmu Kesehatan anak, namun sedihnya saya hanya
sanggup bertahan 1 minggu sebelum akhirnya memutuskan menyerah. Selain tahap
adaptasi dengan lingkungan baru, tekanan dari berbagai sisi baik konsulen
(dokter spesialis), perawat, ko-ass senior, pasien, ditambah masalah internal
keluarga menjadi momok menakutkan bagi saya saat
itu. Mental saya remuk, semangat juang saya padam. Saya yang sudah mengecap
pahit manis merantau di Surabaya dan Jakarta sendirian, dibuat tak berkutik
disini.
April
2011 secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku tentang motivasi dikamar kos
salah seorang teman. Buku ini seperti oase ditengah dahaga asa saya. Saya yang
tadinya telah menulis pengunduran diri dan permintaan pindah ke RS lain, kembali
berpikir ulang. Jika senior-senior saya bisa melaluinya mengapa saya tidak?,
lantas apa bedanya saya dengan mereka?, mengapa saya harus kalah? dan sederet
tanya lain mulai berkecamuk. Saya menyadari bahwa tidak ada alasan yang pantas bagi
saya untuk melarikan diri. Bukankah laut yang riak menghasilkan pelaut yang
handal?. Kenyamanan dan nilai bagus yang bisa dengan mudah didapat ditempat
lain, tak lagi menjadi prioratas saya. Saya memutuskan untuk kembali memulai
semuanya dari awal.
Bismillah...
ini ibadah!, pasien berjubel yang tadinya saya pandang sebagai beban kini coba
saya lihat sebagai berkah. Semakin banyak pasien berarti semakin besar ladang
amal yang tersedia, semakin banyak ilmu yang bisa diserap, semakin banyak
karakter yang bisa diselami dan semakin banyak ibrah yang bisa saya petik.
Sesal yang sempat menggema perlahan berganti syukur, karena saya si sehat bukan
si sakit, saya dokter (muda) bukan pasien dan saya hidup!.
3P (Pinjam
rumusnya kak Assad dari buku Notes From Qatar) coba saya
terapkan dalam kasus ini. Pertama berpikir Positif
bahwa “saya pasti bisa” terus saya
dendangkan, meski awalnya terdengar tak merdu. Saya percaya keputusan saya yang
tiba-tiba mengganti pilihan RS hanya dalam hitungan menit sebelum saya dipanggil
untuk menuliskannya, pastilah atas izin “Al-Khobiir” yang tahu akan segala yang
terbaik bagi hambaNya. “Sebab boleh jadi
kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan sebaliknya kamu menyukai
sesuatu tetapi ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak”. *QS
Al Baqarah[2]:216
Persistence
berarti terus berusaha dan pantang menyerah, niat semata karena Allah menjadi
pondasinya. Berjibaku menaklukkan segala tekanan, seolah menguras emosi dan
kesabaran saya yang belum juga purna. Berjuang menghadapi medan baru, tentu menuntut
keberanian dan kerja keras yang lebih dari sekedar cukup. Saya bertekad menjadi
climbers sejati yang melihat
rintangan sebagai berkah bukan bencana. Harapan saya semoga kelak akan tiba
dimasa segala tangis yang pernah berderai, merekah menjadi tawa untuk saya dan
dunia. Sembari menunggu saat itu, saya hanya percaya pada janjiNya “Karena sesungguhnya setelah kesulitan ada
kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al Inshirah:5-6).
Terakhir namun yang terpenting adalah Pray dan tawakal kepada Allah sang Maha pemilik
cahaya, agar senantiasa mendekap dan menuntun langkah saya menuju jalan terangNya.
Amin ya rabbal’alamin.
NB
: Sampai hari ini saya masih menjalani masa penuh pembelajaran di RSUD “S”. Alhamdulillah
hampir setahun sudah saya lalui disini. Suka duka berebut hadir mewarnai hati
yang masih tertatih berjuang untuk istiqomah dijalanNya.
*Tulisan jadul dengan gaya penulisan yang baku... Semoga bermanfaat ^_^
Serang, 16 Januari 2012
Serang, 16 Januari 2012
No comments:
Post a Comment