Sunday, April 21, 2013

Why RSUD "S"?

Bismillahrirrahmanirrahim.

Awal tahun 2011 lalu saya baru saja meraih gelar sarjana kedokteran umum disebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Meskipun lulus tepat waktu (3,5 tahun) namun IPK yang berada di kelompok rata-rata, jelas merefleksikan usaha yang saya kerahkan semasa kuliah jauh dari maksimal. Selepas itu saya harus menjalani kepanitraan klinik (ko-ass) di sebuah Rumah Sakit yang bisa dipilih (karena kami tidak memiliki RS pendidikan sendiri maka pihak universitas berkerja sama dengan beberapa RS, sehingga kami bisa menjalani ko-ass disana). Dari sekian banyak pilihan saat itu, entah mengapa saya memilih RS yang konon kabarnya paling “angker” dibanding yang lain, sebut saja RSUD “S”. Dari kabar yang beredar RS ini terkenal dengan aturan yang ketat, paramedis yang kurang bersahabat dengan ko-ass dan serangkaian cerita tidak mengenakkan lainnya. Singkatnya ko-ass disana prognosisnya disebut dubia ad malam, dengan kata lain kemungkinan besar akan bernasib menyedihkan . Saya sendiri tidak habis pikir dari mana keberanian itu datang mengingat dulu ketika pertanyaan mau ko-ass dimana terlontar, dengan lantang dan tegas saya menjawab “dimana saja, yang penting bukan di RSUD S”.
Stase perdana saya adalah dibagian Ilmu Kesehatan anak, namun sedihnya saya hanya sanggup bertahan 1 minggu sebelum akhirnya memutuskan menyerah. Selain tahap adaptasi dengan lingkungan baru, tekanan dari berbagai sisi baik konsulen (dokter spesialis), perawat, ko-ass senior, pasien, ditambah masalah internal keluarga menjadi momok menakutkan bagi saya saat itu. Mental saya remuk, semangat juang saya padam. Saya yang sudah mengecap pahit manis merantau di Surabaya dan Jakarta sendirian, dibuat tak berkutik disini.

April 2011 secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku tentang motivasi dikamar kos salah seorang teman. Buku ini seperti oase ditengah dahaga asa saya. Saya yang tadinya telah menulis pengunduran diri dan permintaan pindah ke RS lain, kembali berpikir ulang. Jika senior-senior saya bisa melaluinya mengapa saya tidak?, lantas apa bedanya saya dengan mereka?, mengapa saya harus kalah? dan sederet tanya lain mulai berkecamuk. Saya menyadari bahwa tidak ada alasan yang pantas bagi saya untuk melarikan diri. Bukankah laut yang riak menghasilkan pelaut yang handal?. Kenyamanan dan nilai bagus yang bisa dengan mudah didapat ditempat lain, tak lagi menjadi prioratas saya. Saya memutuskan untuk kembali memulai semuanya dari awal.

Bismillah... ini ibadah!, pasien berjubel yang tadinya saya pandang sebagai beban kini coba saya lihat sebagai berkah. Semakin banyak pasien berarti semakin besar ladang amal yang tersedia, semakin banyak ilmu yang bisa diserap, semakin banyak karakter yang bisa diselami dan semakin banyak ibrah yang bisa saya petik. Sesal yang sempat menggema perlahan berganti syukur, karena saya si sehat bukan si sakit, saya dokter (muda) bukan pasien dan saya hidup!.

3P (Pinjam rumusnya kak Assad dari buku Notes From Qatar) coba saya terapkan dalam kasus ini. Pertama berpikir Positif bahwa “saya pasti bisa” terus saya dendangkan, meski awalnya terdengar tak merdu. Saya percaya keputusan saya yang tiba-tiba mengganti pilihan RS hanya dalam hitungan menit sebelum saya dipanggil untuk menuliskannya, pastilah atas izin “Al-Khobiir” yang tahu akan segala yang terbaik bagi hambaNya. “Sebab boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan sebaliknya kamu menyukai sesuatu tetapi ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak”. *QS Al Baqarah[2]:216

Persistence berarti terus berusaha dan pantang menyerah, niat semata karena Allah menjadi pondasinya. Berjibaku menaklukkan segala tekanan, seolah menguras emosi dan kesabaran saya yang belum juga purna. Berjuang menghadapi medan baru, tentu menuntut keberanian dan kerja keras yang lebih dari sekedar cukup. Saya bertekad menjadi climbers sejati yang melihat rintangan sebagai berkah bukan bencana. Harapan saya semoga kelak akan tiba dimasa segala tangis yang pernah berderai, merekah menjadi tawa untuk saya dan dunia. Sembari menunggu saat itu, saya hanya percaya pada janjiNya “Karena sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al Inshirah:5-6). 

Terakhir namun yang terpenting adalah Pray dan tawakal kepada Allah sang Maha pemilik cahaya, agar senantiasa mendekap dan menuntun langkah saya menuju jalan terangNya. Amin ya rabbal’alamin.

NB : Sampai hari ini saya masih menjalani masa penuh pembelajaran di RSUD “S”. Alhamdulillah hampir setahun sudah saya lalui disini. Suka duka berebut hadir mewarnai hati yang masih tertatih berjuang untuk istiqomah dijalanNya.

*Tulisan jadul dengan gaya penulisan yang baku... Semoga bermanfaat ^_^

Serang, 16 Januari 2012

No comments:

Post a Comment