Pernahkah kamu bermimpi untuk menimba ilmu di negeri orang dengan
latar 4 musim yang berbeda?. Aku pernah, dulu sekali keinginan itu pernah
terlintas diotak polosku. Membayangkannya saja sudah membuatku berbinar. Namun
seiring berjalannya waktu kepolosanku lambat laun tergerus. Kuliah diluar
negeri duit dari mana?, kuliah diluarkan mesti punya kemampuan berbahasa asing
minimal bahasa inggris yang baik dan pastinya otak yang cemerlang (Nah aku?
Bisa dibilang manusia dengan prestasi rata-rata, mean : kalau sebagian besar
orang lulus maka aku kemungkinan besar juga lulus dan berlaku kebalikannya pula
-_-), ditambah rentetan tanya lain yang ujung-ujungnya bermuara pada
jawaban bernada negatif. Entah karena bertambah dewasa dan paham bahwa mimpi
itu terlalu tinggi atau karena sangsi dengan kemampuan sendiri akhirnya lambat
laun mimpi itu perlahan memasuki musim gugur yang hanya menyisakan ranting tanpa
daun.
Pertengahan bulan Agustus 2012 mimpi tadi yang seolah membeku dimusim dingin, perlahan kembali mencair. Yeah mimpi itu hidup dan seolah
tak sabar langsung melompat memasuki musim semi. Tawaran dari seorang sensei
(prof Sakakibara) yang kukenal secara tak sengaja membuat mimpi itu seolah
berbunga. Aku tak sengaja terlibat penelitian beliau saat tengah pulang
berlibur di bulan ramadhan tahun lalu. Sesuatu yang sudah aku cap
mustahil untuk ku raih perlahan namun pasti terlihat kasat mata. Prof itu
terlihat serius mau membukakan jalan untuk mewujudkan mimpi yang nyalanya
nyaris padam itu. Aku pun banyak mencari info tentang bagaimana sistem
pendidikan di Jepang dan remeh temeh tentang suka duka perjuangan mahasiswa
asing khususnya Indonesia saat berkuliah disana. Aku juga intens berkorespondensi
dengan beberapa prof, dan kandidat P.hD asal Indonesia yg pernah menimba ilmu
diluar negeri khususnya dinegeri Sakura.
Usai
beberapa kali berinteraksi secara intensif melalu alam maya, prof kembali
mengundangku bercakap empat mata saat beliau berkunjung ke kota Kembang akhir
bulan Maret tahun ini. Beliau mengaku telah menghubungi beberapa koleganya di
Fakultas Kedokteran kampusnya mengajar (Prof Sakakikabara bukan prof bidang
kedokteran melainkan bidang teknik). Beberapa hal beliau paparkan termasuk masa
studi yang minimal 4 tahun (Bagi lulusan profesi semisal dokter umum, gigi
maupun apoteker dapat langsung lompat ke S3 disana) dan yang membuat
nafasku terasa sesak (Alay mode on:P) adalah syarat penguasaan bahasa Jepang
yang harus mumpuni. Kenyataan ini terang membuat nyaliku ciut, sebab sebelumnya
aku berpikir disana untuk kedokteran telah ada international classnya namun
ternyata belum ada pemirsa T_T (mungkin saja dibeberapa kampus ternama sudah
ada, namun di”calon” kampusku belum tersedia).
Aku juga
memdapat masukan dari beberapa teman yang aku ajak sharing utamanya dari bang
Jiro yang tengah mengambi P.hD bagian kardiovaskular di Jichi Medical
University Jepang. Penjelasan yg aku dapat dari bang Jiro sangat detail
ditambah cerita pribadi beliau tentang perjuangan dan tantangan yang
dihadapinya saat beradaptasi dengan iklim belajar di Jepang yg bisa dibilang
tidak mudah. Bayangkan untuk kedokteran hampir semua istilah bahkan yang
familiar sekalipun ada bahasa Jepangnya contohnya : EKG = shindenzu,
stetoskop = choushinki, hipertensi = kouketsuatsu, aorta = daidoumyaku, angina
pektoris = anteikyousyinsyou, diabetes = tounyoubyou, anti platelet agent =
koukesyoubanzai. Nah ribet kaan?? -_-“ Hadowh... bahasa
Inggris saja masih belepotan kudu belajar bahasa Jepun lagi?!! (otakku
yang hanya pentium 2 ini sepertinya akan error binti lemot) T_T
Setelah
sempat mencicipi musim semi sepertinya mimpiku kembali memasuki musim gugur....
Yeah meski belum sepenuhnya memutuskan, tetapi aku tetap berterima kasih untuk
semuanya yang sempat membuat mimpiku yang sempat mati suri itu hidup kembali.
Apapun nantinya aku saat ini adalah aku yang percaya bahwa tak ada yang tak
mungkin, selalu ada jalan dari arah yang tak disangka-sangka jika Allah
berkehendak. Tetap semangat kawan!^_^
No comments:
Post a Comment